Jumat, 02 April 2010

OKTOBER 1965

Matahari baru saja bersembunyi di balik pegunungan kapur. Ayam yang bertengger di pohon jambu belum tertidur lelap, tapi desa Tetep sudah tenggelam dalam kesunyian. Desa yang dihuni hanya berpuluh keluarga tenggelam dalam kegelapan. Tidak ada satu rumahpun yang menyalakan lampu, meski hanya sebuah sentir kecil. Deretan rumah dari gedhek khas desa miskin berjajar tidak beraturan bagaikan kuburan. Tidak ada satu pun orang yang duduk di depan rumah menikmati angin dingin pegunungan kapur atau berjalan melintasi jalan putih dari batu kapur. Semua penduduk desa bersembunyi di gubuk-gubuk mereka bagaikan sekawanan kelinci yang menghindari pemburu.

“Mbok kopiku mana?” tanya Pak Bejo berbisik pada istrinya. Dia tidak berani berbicara keras takut terdengar oleh tetangga, meski jarak rumahnya dengan rumah tetangga masih dipisahkan oleh sebidang kebun ketela pohon yang kurus-kurus kurang air. Pak Bejo membetulkan letak sarung yang sudah sobek disana sini. Sarung inilah pakaian sehari-hari yang digunakan siang malam.
“Kopi apa to pak,” sahut istrinya sambil berbisik. “Tadi pagi aku tidak ke pasar. Tidak ada orang yang berani ke pasar.”
“Sampai kapan situasi ini akan berakhir,” keluhnya. Dia merebahkan diri di amben bambu, satu-satunya benda yang mengisi kamar tidur yang sempit. Terdengar bunyi kretek-kretek galar yang tidak mampu menahan berat tubuh pak Bejo. Usia amben ini sudah hampir sama dengan usianya. Perbaikan hanya bila ada galar yang putus. Tikar pandan yang menjadi alas tidur sudah sobek disana sini. Kutu busuk yang bersembunyi dibalik setiap anyaman tikar menunggu tubuh yang terbaring untuk dihisap darahnya.
“Sabar pakne,” sahut istrinya. “Kita sudah melalui jaman Jepang dan bisa bertahan. Kini sudah jaman merdeka pasti kita juga bisa bertahan.”
“Situasi ini beda dengan jaman Jepang mbok,” keluh pak Bejo. “Saat ini musuh kita ada dimana-mana. Kita tidak tahu siapa musuh kita.”
“Aku dengar tadi siang dari bu Tri, bahwa situasi semakin gawat,” kata Bu Bejo sambil merebahkan diri di samping suaminya.
“Hem.. kemarin pakde Mo ditangkap dan entah dibawa kemana. Sampai sekarang tidak ada kabar beritanya.”

Mereka terdiam. Suara jangkerik mengisi ruang kosong di antara mereka. Angin gunung yang dingin menyelinap lewat celah-celah gedhek yang lapuk dan berlubang disana sini. Pak Bejo menarik kain sarungnya untuk menutupi tubuhnya. Tapi bila dia tarik untuk menutup dada, maka ujung kakinya akan terasa dingin. Maka dia meringkuk agar kain sarung cukup untuk seluruh tubuhnya. Suara burung hantu terdengar jauh menyeramkan.

“Lebih baik dipenjara pakne daripada disembelih dan dibuang ke nggawan,” sahut istrinya lirih.
“Ditangkap belum tentu dipenjara mbok,” sahut Pak Bejo. “Bisa saja dibunuh ditempat lain entah dimana. Aku dengar dari kawan-kawan ada beberapa tempat pembuangan mayat yang dirahasiakan.”

Terbayang dimata pak Bejo beberapa tetangganya yang sudah menghilang entah kemana. Mereka diambil oleh beberapa orang pada malam hari. Setelah itu tidak ada kabar beritanya lagi. Saat ini situasi sangat genting tidak hanya di pusat kota tapi sampai jauh masuk desa-desa terpencil yang tidak pernah tersentuh kemajuan jaman. Pada jaman Jepang desa ini aman tidak tersentuh oleh tangan kekuasaan Jepang sebab desa ini hanyalah desa miskin dan tersembunyi di balik pengunungan kapur. Tapi pada kerusuhan setelah jaman merdeka desa ini menjadi tidak aman. Desa yang dihuni oleh tidak lebih dari 50 kepala keluarga sudah ada 6 orang yang diculik dan tidak jelas nasibnya. Mereka tidak tahu siapa yang menculik dan kemana orang yang diculik itu akan dibawa. Beberapa orang sepulang dari kota mengatakan bahwa di nggawan banyak sekali mayat tanpa kepala atau tubuhnya penuh luka. Tidak ada satupun orang yang tahu siapakah mayat-mayat itu. mereka bisa dari desa-desa disekitar ibu kota kecamatan atau dari desa-desa jauh yang terbawa arus nggawan.

Pak Bejo membalikkan badannya. Malam ini hatinya sangat gelisah. Dalam gelap dia memandangi wajah istrinya yang telah dinikahi 10 tahun lalu. Gurat-gurat kecantikan istrinya masih terbayang meski sudah tergerus oleh penderitaan dan kemiskinan sehingga menjadi tua sebelum waktunya. Baginya istrinya adalah perempuan yang paling hebat di seluruh desa. Dia perempuan yang setia mendampingi suami yang miskin dan hanya menggantungkan hidupnya dari sepetak tanah kering di sebelah rumah. Perempuan yang selalu mendukung keputusan suami meski berat sekalipun. Tangguh dan tidak pernah mengeluh meski jarang memegang uang tapi setiap hari entah bagaimana caranya mampu menyediakan makanan. Pak Bejo mengelus kepala istrinya. Sayang Tuhan belum memberinya momongan.

“Pak tadi aku terpaksa menggiling jagung yang disimpan untuk bibit.” Bisik Bu Bejo lirih.
“Semua?”
“Tidak aku sisakan beberapa ontong,”
“Ah tidak apa nanti kalau waktu tanam bisa pinjam dulu ke dik War,”
“Apa tanah di rawa yang telah diberikan partai akan dirampas lagi?” tanya Bu Bejo penuh harap. Pak Bejo terdiam sejenak.
“Tidak tahu mbok,” jawab Pak Bejo dengan suara tanpa daya.

Pikirannya melayang beberapa waktu lalu di sore yang terik seorang dari kecamatan datang ke desa ini. Dia datang dengan beberapa orang berpakaian merah dan hitam. Bendera bergambar palu arit besar berkibar di tanah lapang tempat menggembala ternak. Di sekeliling tanah lapang berkibar bendera yang sama tapi lebih kecil-kecil. Semua penduduk desa datang berkumpul. Bagi mereka setiap ada kegiatan merupakan hiburan di desa yang sepi dan berjalan di tempat. Orang itu berpidato panjang lebar tentang revolusi. Banyak penduduk tidak paham akan apa yang dikatakan sebab mereka mengira revolusi sudah berakhir. Revolusi hanya pada jaman Jepang dan ketika penjajah datang lagi. Tapi kini mengapa masih dikatakan revolusi? Padahal sudah tidak ada penjajah. Mereka sudah merdeka 20 tahun.

Meski tidak paham akan apa yang dipidatokan, penduduk tetap hiruk pikuk. Bila ada satu orang bertepuk tangan maka semua yang hadir ikut bertepuk tangan. Tepukan tangan semua orang seperti minyak tanah yang disiramkan ke api yang ada dalam dada lelaki itu, sehingga pidatonya semakin bersemangat. Beberapa perempuan yang hadir bersama dengannya turut bernyanyi dan sesekali meneriakkan “Hidup PKI. Hidup PKI.” Semua orang pun berteriak sekuat tenaga sampai kerongkongan mereka kering.

Teriakan semakin histeris ketika orang itu menjanjikan akan memberi sebahu tanah bagi penduduk yang mau menjadi anggota partai. Rawa adalah milik rakyat. Bila rawa kering di musim kemarau maka tanah itu akan dipatok dan digarap oleh anggota partai. Menurut pria itu tanah harus dibagikan pada setiap penduduk dengan adil. Tidak perlu membeli. Tanah rakyat harus kembali pada rakyat. Sama rasa sama rata. Penduduk bersorak sorai. Selama ini rawa bila kering tidak ada orang yang menggarap untuk menjadikan sawah atau ladang, sebab itu bukan tanah mereka. Orang yang berani menggarap tanah itu hanya para pejabat desa saja. Kini tanah itu akan dibagikan. Sejengkal tanah sangat berarti bagi penduduk desa yang sangat miskin.

Tapi tidak semua rakyat mau menjadi anggota, sebab mereka berpikir janji itu hanya kebohongan. Rakyat kecil biasa dibohongi. Pak Bejo mendaftar menjadi anggota partai. Baginya kalau toh bohong dia tidak rugi sebab tidak mengeluarkan apa-apa untuk menjadi anggota partai. Dia hanya diminta hadir dan ikut terlibat dalam pawai partai yang diadakan di ibu kota kecamatan. Apa susahnya ikut jalan sambil berteriak-teriak? Baginya yang penting dia dapat sepetak tanah untuk memperbaiki kehidupan keluarganya. Bila ada sebahu tanah lagi, maka dia yakin kehidupannya akan lebih baik meski tanah itu hanya bisa digarap pada musim kemarau.

Janji itu menjadi kenyataan ketika kemarau datang. Orang itu datang lagi ke desa dan membawa beberapa orang membawa meteran. Semua orang yang terdaftar menjadi anggota partai diajak ke rawa yang sudah mengering. Mereka mengukur dan memasang patok tanda batas kepemilikan. Semua orang harus ingat dimana patoknya, sebab bila musim hujan semua akan tenggelam oleh air. Betapa suka citanya hati Pak Bejo mendapat sebahu tanah lagi. Lahan di rawa sangat subur. Panen pasti akan berlimpah. Semua anggota partai suka cita dan berteriak “Hidup PKI” berulang kali. Inilah partai yang berpihak pada rakyat dan tidak berbohong.

“Aku dengar dari radio di kecamatan bahwa di kota semua anggota partai sudah masuk penjara,” kata bu Bejo lemah.
“Ya itulah mbok,” desah pak Bejo. “Mereka dulu selalu mengatakan desa mengepung kota. Revolusi dimulai dari desa, tapi kenapa mereka ingkar janji dengan mengadakan revolusi di Jakarta sebagai ibu kota?”
“Pasti para ketua punya alasan sendiri pak,”
“Tapi kenapa mereka harus membunuh para jendral?”
“Ya entahlah pak,” sahut bu Bejo lirih. “Kita ini kan hanya rakyat kecil yang ikutan saja.”
“Tidak bisa begitu mbokne,” potong pak Bejo. “Kalau kita hanya ikutan mengapa beberapa kawan ditangkap dan diculik oleh orang yang tidak dikenal?”
“Ya rakyat selalu jadi kurban,” keluh bu Bejo sedih.
“Sudah 6 kawan di desa ini yang hilang mbok,” bisik pak Bejo. “Padahal mereka juga sama seperti kita yang tidak tahu apa-apa mengenai kerusuhan di ibu kota.”
“Apa kita tidak pindah saja dari sini pak?”
“Kemana?” sahut pak Bejo. Dia lahir dan besar di tempat ini. Begitu juga istrinya. “Orang miskin seperti kita sering tidak punya pilihan mbok.”
“Aku takut pak,” kata bu Bejo sambil terisak lirih. Pak Bejo memeluk istrinya.

Terlintas bayangan mayat-mayat yang mengapung di nggawan. Katanya semua itu anggota PKI yang harus dimusnahkan dari bumi Indonesia. Anggota PKI sama dengan setan sebab tidak mengakui Tuhan. Maka harus dibunuh dan dimusnahkan. Padahal beberapa orang yang hilang saat ini mereka juga sembahyang dan ikut merayakan lebaran pada hari lebaran dan puasa pada saat puasa. Mengapa dituduh tidak percaya Tuhan? Apakah hanya alasan yang dicari-cari saja? Mereka mau menjadi anggota partai sebab mendapat tanah yang sangat berharga bagi kehidupannya.

Tiba-tiba terdengar suara langkah banyak orang. Pintu rumah yang terbuat dari gedhek diketuk keras-keras. Pak Bejo gemetar hebat. Bu Bejo terkencing-kencing di amben bambu. Mereka saling berpelukan erat. Tidak peduli jarik basah oleh air kencing. Ketukan dan teriakan semakin keras. Terdengar suara keras pintu didobrak. Pintu dari papan lapuk itu hancur berantakan. Beberapa orang yang wajahnya ditutup sarung menerobos masuk. Mereka membawa senter-senter dan aneka senjata.

Sambil berteriak-teriak mereka menyeret pak Bejo dari tempat tidur. Pak Bejo berusaha melawan mereka. Tapi dia tidak kuasa menghadapi sekian banyak orang yang bersenjata. Sebuah pedang menusuk perutnya sehingga terjatuh terguling di amben lagi. Tubuhnya diseret keluar kamar. Teriakkan dan tangisan bu Bejo bagai api yang membakar kebencian mereka. Dia ditendang oleh beberapa orang. Tapi dia berusaha untuk mempertahankan suaminya dari renggutan orang-orang asing. Seorang yang membawa pentung kayu memukulnya keras di kepala. Dunia bu Bejo menjadi gelap. Dia tidak ingat lagi.

Malam terus berjalan. Angin berhembus perlahan menggoyangkan daun-daun singkong di sebelah rumah. Sesaat jalan desa menjadi hiruk orang yang ramai-ramai menyeret tubuh pak Bejo yang bersimbah darah. Mata-mata penuh keprihatinan bersembunyi di balik gedhek. Mencoba menangkap apa yang sedang terjadi di negara tercinta. Mereka hanya mengelus dada dan bergidik akan kekejaman orang yang tidak dikenal. Tapi tidak ada satu pun penduduk desa yang berani menentang kekejian yang berjalan di depan mata. Warna hitam kental menghiasai batu-batu kapur. Desa kembali tenggelam dalam sunyi dan bisu. Sesunyi dan sebisu hati nurani.

Catatan:

Sentir: lampu kecil biasanya dari kaleng kecil yang diberi minyak dan ada sumbu dari kain atau benang yang dipintal agak besar
Gedhek: dinding yang dibuat dari anyaman bambu. Bambu dipotong sebesar dua jari dan tebal lalu dianyam. Bila bambu dihaluskan dan tipis lalu dianyam disebut sesek.
Galar: potongan bambu selebar dua jari yang digunakan untuk tempat tidur.
. Amben: tempat tidur
Nggawan: singkatan dari Bengawan Solo, sungai besar yang mengalir dari Solo sampai pantai utara di sekitar Gresik.
Ontong: buah jagung yang masih ada bijinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger