Sabtu, 01 Oktober 2011

SEBUAH BALLPOINT BEKAS

Bapak itu menatapku dengan mata berkaca-kaca. Aku mencoba tersenyum padanya. Kami duduk berhadapan dalam kebisuan. Sebuah ballpoint tergeletak di meja yang membatasi kami. Kami menatap ballpoint itu. Mosok hanya ini tanya bapak itu berulang-ulang seolah pada dirinya sendiri. Aku hanya diam. Memahami perasaan yang bergolak dalam hatinya. Lima tahun aku berjuang bersama dia membangkitkan sebuah lembaga yang sudah hancur total. Sebuah lembaga sosial yang disingkiri oleh banyak orang sebab setiap tahun terus merugi. Semua karyawan digaji jauh dibawah standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Mereka masih bertahan bekerja ditempat ini sebab sudah tidak mempunyai pilihan lagi mengingat usia mereka sudah tua.

Lembaga ini dulu pernah berjaya. Banyak sekali uang yang berputar dari bantuan-bantuan asing. Tapi beberapa pengurusnya melakukan korupsi besar-besaran. Setelah tidak ada lagi yang dapat diambil mereka satu demi satu keluar dengan meninggalkan teman-teman mereka yang miskin dan tidak memiliki masa depan. Sedangkan mereka sudah kaya raya. Ada yang mempunyai bis, ada yang mempunyai sawah berhektar-hektar, ada yang mendirikan lembaga baru yang lebih kuat dan sebagainya. Mereka tidak peduli lagi pada lembaga sosial ini yang telah menjadi lembaga miskin.

Aku ditugaskan untuk memimpin lembaga yang sudah hancur ini. Selama 4 tahun aku berjuang bagaimana memperkuat lembaga ini. Sedikit demi sedikit lembaga ini mulai bangkit kembali. Gaji pegawai naik untuk mengejar ketinggalan dari standari gaji yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pelayanan baru dibuka. Beberapa ruang yang menjadi lahan korupsi ditutup. Karyawan mendapatkan tunjangan-tunjangan yang selama ini tidak pernah mereka peroleh. Setelah lembaga ini dianggap menguntungkan kembali tiba-tiba aku diberhentikan. Hal ini disebabkan aku bersuara keras untuk menaikkan kesejahteraan karyawan. Bagiku tidak masuk akal bagaimana mungkin karyawan dipaksa untuk melayani dan peduli pada kaum miskin sedangkan hidup mereka masih dibawah garis kemiskinan. Sebetulnya masalah ini banyak terjadi dalam lembaga-lembaga sosial dibawah gereja. Gereja bangga bisa melayani dan peduli pada kaum miskin tapi tidak peduli pada karyawan yang bekerja di lembaga itu. Inilah salah satu bentuk ketidakadilan yang terjadi dalam tubuh Gereja.

Pemberhentianku yang mendadak membuat para karyawan protes. Tapi usaha mereka sia-sia. Mereka menghadapi tembok tebal yang berdiri kokoh. Posisiku terjepit diantara dua sisi. Disatu sisi aku termasuk dalam herarki Gereja disisi lain aku juga termasuk karyawan. Usaha para karyawan untuk berdialog ditanggapan dengan ancaman pemberhentian. Siapa yang tidak setuju dengan keputusan ini silakan berhenti. Mereka pun menjadi terdiam. Tidak mungkin mereka berhenti bekerja dari lembaga ini, sebab mereka pasti tidak akan dapat bekerja lagi di tempat lain mengingat usia yang sudah tua. Jika mereka tidak bekerja lalu keluarga mereka akan diberi makan apa. Kaum miskin sering dikalahkan dan dipaksa untuk menerima situasi yang tidak mereka inginkan oleh para penguasa yang menjadi tempat gantungan hidup mereka. Ancaman ini adalah bentuk kesewenang-wenangan penguasa yang membuatku menjadi keras melawan penguasa. Sikap kerasku ini semakin mempercepat pemberhentianku.

Acara pelepasanku dilakukan secara sederhana. Seorang pejabat Gereja dihadapan para karyawan memberiku sebuah hadiah. Setelah acara usia hadiah kubuka di depan bapak ini. Ternyata sebuah ballpoint murah dan bekas. Karton tempat ballpoint ini tampak lusuh. Beberapa karyawan senior yang melihatnya hanya mampu meneteskan air mata. Mereka sangat kecewa. Sebetulnya aku tidak peduli dengan hadiah ini, sebab hidupku sudah berkecukupan. Tapi bagi bapak ini masalahnya adalah arogansi dan ketiadaan penghargaan terhadap sesama. Bila terhadap pemimpin lembaga saja sudah demikian apalagi terhadap karyawan kecil dan kaum miskin yang dilayani. Bapak ini hanya mampu menangis pedih melihat betapa dalam jurang antara teori yang sering dikotbahkan untuk peduli dan menghargai kaum miskin dengan realita yang terjadi.

1 komentar:

Powered By Blogger