Rabu, 24 Juni 2009

ABRAHAM DAN LOT

Dalam Kejadian 13 dikisahkan perisahan antara Abraham dan Lot, keponakannya. Mereka berdua mempunyai banyak ternak, sedangkan lahan tempat penggembalaan sangat terbatas. Akibatnya gembala-gembala mereka sering bertengkar berebut lahan. Agar mereka tidak bertengkar maka Abraham mengajukan pada Lot untuk berpisah. Tampaknya Abraham adalah orang yang tidak suka ribut apalagi dengan keluarganya sendiri untuk soal kekayaan.

Ketika akan berpisah Abraham mempersilakan Lot untuk memilih tempat yang akan ditinggali. Lot melihat bahwa daerah lembah Yordan sebagai tempat yang subur dan banyak air yang sangat dibutuhkan oleh ternaknya. Begitu suburnya daerah itu sampai digambarkan sebagai taman Tuhan. Pilihan Lot membuat Abraham pergi ke Hebron dan menetap di Mamre. Daerah ini kurang subur dan merupakan padang pasir.

Keputusan Abraham untuk mempersilakan Lot memilih terlebih dahulu adalah suatu sikap yang agak mengherankan. Dia seorang tua, kaya dan merupakan paman dari Lot. Tapi Abraham tidak menggunakan semua itu untuk kepentingan dirinya. Dia lebih memikirkan Lot daripada dirinya sendiri. Budaya Yahudi menganut sistem patriakal sama dengan hampir banyak budaya di Indonesia. Dalam sistem ini seorang bapak mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Maka keputusan Abraham merupakan sesuatu yang mengejutkan. Adalah wajar kalau dia memilih terlebih dahulu dan menyuruh Lot untuk pergi menjauhinya. Tapi Abraham tidak! Dia tidak memikirkan dirinya sendiri melainkan memikirkan kebahagiaan orang lain.

Jaman ini banyak orang menjadi sangat egois. Mereka berusaha mendapatkan apa saja yang menurutnya baik bagi dirinya tanpa peduli orang lain. Aku sering terheran-heran melihat orang berebut barang di toko yang sedang mengadakan diskon besar. Mereka berdesak dan berusaha mendapatkan yang terbaik sebanyak mungkin tanpa peduli pada orang lain yang mungkin jauh lebih membutuhkannya. Ketika akan naik angkutan orang berdesak-desakkan berusaha naik terlebih dahulu agar mendapatkan tempat yang nyaman bagi dirinya tanpa peduli sesamanya. Padahal semua itu bukan soal hidup dan mati. Sebaliknya tempat yang subur merupakan masalah hidup dan mati bagi Abraham dan Lot saat itu. Keputusan Abraham untuk mempersilakan Lot memilih terlebih menggambarkan bahwa dia adalah orang yang menginginkan orang lain bahagia meski dirinya menderita. Ini adalah kurban. Di jaman yang semakin egois ini kita diajar oleh Abraham untuk membangun sebuah budaya baru. Budaya kurban demi kebahagiaan sesama. Hal ini dapat dimulai dari hal dan tindakan sederhana.

Sering kali aku terheran-heran melihat orang yang sudah kaya tapi terus mengejar kekayaan sampai melakukan hal-hal yang sangat merugikan orang lain. Ada orang yang sudah kaya tapi masih tega dengan cara licik menguasai harta warisan yang seharusnya dibagi dengan saudaranya. Pada jaman ini sering kali harta lebih penting daripada persaudaraan. Kita dapat belajar dari Abraham yang lebih mementingkan persaudaraan dan keutuhan keluarga daripada harta kekayaan.

Abraham mendasarkan pilihan bukan atas penglihatan manusiawi melainkan atas ketaatan pada kehendak Tuhan. Apa yang bagus dalam pandangan kita ternyata belum tentu bagus bagi diri kita. Lot memilih lembah Yordan dekat Sodom, ternyata akhirnya kota itu dihancurkan oleh Allah. Sering kali kita seperti Lot berusaha memilih yang terbaik menurut pandangan kita tanpa melibatkan Allah. Seorang teman sudah bekerja di sebuah perusahaan. Suatu hari dia ditawari pindah kerja ke perusahaan lain yang menurutnya lebih bagus. Ternyata tidak berapa lama kemudian perusahaan itu bangkrut, sehingga dia kini menganggur. Dia kini hanya mampu menyesali pilihannya. Abraham berusaha mendasarkan pilihan hidupnya pada kehendak Allah. Dia berusaha mendengarkan suara Allah dan taat padaNya. Hal ini bisa terjadi bila kita mempunyai relasi yang dekat dengan Allah melalui doa dan merenungkan segala peristiwa hidup.

Selasa, 23 Juni 2009

PELAYANAN DAN DOA

“Jikalau seorang berkata: "Aku mengasihi Allah," dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya” (1Yoh 4:20-21)

Allah menyelamatkan dunia dengan mengutus PutraNya menjadi manusia. Peristiwa inkarnasi (Allah menjadi manusia) menjadi dasar karya keselamatan. Pada Perjanjian Lama manusia adalah gambaran Allah (Kej 1:26), tapi kehadiran Yesus mengubah semua itu. Allah ada dalam manusia “Pada waktu itulah kamu akan tahu, bahwa Aku di dalam Bapa-Ku dan kamu di dalam Aku dan Aku di dalam kamu.” (Yoh 14:20). Yesus pun bersabda bahwa Dia ada dalam saudara yang miskin.

Doa adalah sarana kita menjalin hubungan dengan Allah. Pada Perjanjian Lama Allah begitu jauh dan menakutkan, sehingga siapa yang melihat Allah akan mati. “Berkatalah Manoah kepada isterinya: "Kita pasti mati, sebab kita telah melihat Allah." (Hak 13:22). Maka mereka membuat Bait Allah dengan tempat khusus bagi Allah. Hanya para imam yang diijinkan untuk masuk ke tempat khusus itu. Inkarnasi Allah dalam diri Yesus membuat hubungan Allah manusia menjadi dekat. Allah dapat disentuh. Inkarnasi membuat Allah bukan lagi di tempat kudus melainkan ada dalam sesama kita (bdk Yoh 4:20-24). Maka apa yang dikatakan dalam surat Yohanes ini sangat benar bahwa mencintai Allah berarti mencintai manusia.

Sering kali kita memisahkan antara Allah dan sesama. Banyak orang tekun berdoa dan sudah merasa puas. Mereka merasa sudah menjalin hubungan yang baik dengan Allah melalui doa-doa. Bila menghayati peristiwa inkarnasi maka doa saja belum cukup. Allah bukan lagi di surga yang jauh tapi ada dalam saudara yang miskin. Doa tanpa pelayanan adalah mati. Namun pelayanan tanpa doa adalah kosong. Pelayanan adalah perwujudan doa-doa kita. Dalam doa kita melihat belas kasih Allah dalam hidup. Belas kasih ini kita bagikan pada sesama. Kesadaran Allah ada di saudara yang miskin bukanlah sesuatu yang mudah, sebab kita sudah terbiasa dengan konsep Allah ada di surga yang jauh dan tinggi. Selain itu kita sering mencari jalan yang mudah dan menyenangkan. Doa adalah sebuah tindakan yang mudah. Namun pelayanan adalah tindakan penuh pengurbanan. Dari sinilah dapat kita pahami bahwa keselamatan bukanlah hal yang mudah, melainkan harus melalui pintu yang sempit. Kita harus berjuang untuk mencapai dan memperoleh keselamatan.

Ibu Teresa mengkaitkan doa dan pelayanan secara seimbang. Semua pelayanannya merupakan wujud dari pengenalan akan Allah. Suatu hari Ibu Teresa berkata pada para susternya, “Kalian tahu bahwa kalian harus kesana (tempat pelayanan). Selama misa, kami selalu mengadakan misa sebelum berangkat kerja setiap paginya, renungkanlah kelembutan yang bagaimana dan kasih sebesar apa, Bapa memperlakukan tubuh Kristus. Yakinlah bahwa tubuh yang sama inilah yang akan kalian sentuh dalam diri orang miskin. Berilah kasih dan kelembutan yang sama.” Ibu Teresa mengalami kasih Allah dalam doa-doanya. Dengan pengalaman kasih itulah beliau memperlakukan orang miskin. Dalam doa-doanya Ibu Teresa mengalami keselamatan dari Allah, maka beliau mewartakan keselamatan ini dengan tindakan belas kasih seperti yang dilakukan oleh Allah pada dirinya.

BERBAGI

"Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian." (Luk 3:11)

Mengikuti Yesus adalah sebuah keradikalan. Keberanian meninggalkan segala sesuatu dan keberanian untuk berbagi dengan sesama bahkan sampai nyawa. Semangat ini diteruskan oleh Gereja perdana, dimana mereka memberikan apa yang mereka miliki untuk sesamanya. “Sebab tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya” (Kis 4:34-35). Namun semangat ini telah bergeser jauh ketika Gereja memasuki jaman keemasannya yaitu setelah agama Kristen menjadi agama kerajaan Romawi.

Kita boleh memiliki harta benda. Segala yang kita miliki adalah anugerah Allah. Sesuatu yang dipercayakan Allah pada kita dengan tujuan untuk melayani sesama mencapai kesejahteraan bersama. Oleh karena tujuan adalah untuk kesejahteraan bersama maka apa bila kita memiliki harta yang lebih hendaknya dibagikan pada yang kekurangan. Berbagi membutuhkan keberanian, sebab orang selalu ingin mempertahankan apa yang dimilikinya. Bahkan kalau memungkinkan dia akan menambah kepemilikannya. Lebih jauh lagi orang terlekat dengan apa yang dimiliki. Disinilah tantangannya sejauh mana kita meski memiliki namun tidak ingin dikuasai oleh kepemilikan kita. Kita punya harta tapi tidak dikuasai oleh harta. Kita mengatur harta bukan diatur oleh harta.

Semangat berbagi dapat ditumbuhkan bila dalam hati ada semangat belas kasih pada sesama serta kesadaran bahwa Allah telah berbelas kasih pada kita. Segala yang kita miliki berasal dari belas kasih Allah. Kesadaran akan belas kasih ini menumbuhkan kesadaran akan belas kasih pada sesama. Belas kasih Allah kita terima setiap saat. Tidak selalu dalam hal yang besar dan hebat. Maka belas kasih pada sesama tidak perlu menunggu bila kita sudah mempunyai kelebihan, sebab manusia sulit untuk merasa cukup. Agar mampu berbelas kasih juga dibutuhkan kepekaan hati. Rasa yang membuat kita empati yaitu membayangkan seandainya aku menjadi dia. Bila melihat orang lapar kita membayangkan bagaimana bila kita yang lapar? Dari kepekaan ini akan tumbuh belas kasih dan dorongan untuk bertindak.

Suatu hari Ibu Teresa diberitahu bahwa ada satu keluarga Hindu dengan 8 anak yang kelaparan. Maka Ibu Teresa berangkat ke rumah keluarga itu sambil membawa nasi. Sesampai disana Ibu Teresa memberikan nasi itu pada ibu yang kelaparan. Ibu itu segera membagi nasi untuk anak-anaknya dan membawa sebagian lagi ke rumah tetangganya yang beragama Islam. Ketika ditanya oleh Ibu Teresa mengapa dilakukan hal itu? Ibu itu menjawab bahwa keluarga tetangganya juga sudah beberapa hari tidak makan. Ibu Teresa menulis, “Tak dapat aku lukiskan wajah anak-anak itu. Ketika aku masuk, aku tahu mereka menderita. Aku dapat melihat wajah-wajah kurus mereka. Aku dapat melihat mata mereka yang menyorotkan kelaparan. Ketika aku pulang, mata mereka bersinar suka cita sebab baik ibu maupun anak-anaknya mampu berbagi kasih pada sesamanya yang sangat menderita.”

BERSYUKUR

Lalu Yesus berkata: "Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini? (Luk 17:17-18)

Orang kusta pada jaman itu dihilangkan hak-haknya dan dikucilkan dari masyarakat. Lembaga yang menentukan semua itu adalah para imam kepala yang dianggap sebagai pemimpin tertinggi bangsa Israel setelah kerajaan Israel runtuh. Para imam kepala jugalah yang dapat memulihkan status mereka di masyarakat bila mereka sembuh. Maka ketika ada 10 orang kusta yang memohon kesembuhan, Yesus memerintahkan mereka untuk pergi ke imam kepala agar dipulihkan status mereka di masyarakat. Diterima kembali oleh masyarakat sebab telah sembuh. Namun dari 10 orang itu hanya satu yang kembali pada Yesus untuk berterima kasih.

Dalam hidup Allah telah memberikan berbagai anugerah kepada manusia. Anugerah terbesar adalah pemulihan martabat manusia. Pada awal penciptaan manusia menjadi ciptaan yang mulia. Namun karena dosa Adam dan Hawa maka manusia diusir dari taman Firdaus. Dosa menyebabkan manusia kehilangan martabat sejatinya sebagai gambaran diri Allah. Dosa pula membuat manusia juga terkucil dari dirinya dan sesamanya. Manusia saling menyalahkan dan menghakimi sesamanya seperti Adam menyalahkan Hawa dan Hawa menyalahkan ular. Yesus datang ke dunia untuk memulihkan martabat manusia yang rusak akibat dosa. Dia mengangkat manusia menjadi anak Allah dan Allah menjadi Bapa manusia.

Namun banyak orang tidak menyadari anugerah terbesar itu. Mereka tidak berterima kasih bahkan sebaliknya masih mudah sekali mengeluh pada Allah yang dianggap kurang berbelas kasih. Seharusnya kesadaran pemulihan martabat ini menjadi dasar ucapan syukur yang tiada habisnya. Ucapan syukur bukan hanya dengan kata melainkan juga dengan tindakan. Maka hendaknya kita melihat tindakan kita apakah sudah merupakan perwujudan rasa syukur? Kita pun dapat bertanya pada diri sendiri bila Allah sudah memulihkan martabat kita mengapa kita tidak memulihkan martabat sesama dan tidak memandang rendah sesama? Apakah aku sudah mensyukuri semua yang ada dalam hidupku? Apakah yang sudah kulakukan sebagai buah syukurku?

Ibu Teresa adalah orang yang berusaha memulihkan martabat manusia. Dia merawat orang-orang yang sudah dibuang oleh keluarga dan masyarakatnya. Orang yang sudah tidak dianggap manusia sehingga dibiarkan mati di tempat-tempat sampah dan selokan. Suatu hari Ibu Teresa bersama para suster menemukan seorang perempuan yang sudah sekarat di tepi jalan. Ibu Teresa memutuskan untuk merawat sendiri perempuan itu. Saat dirawat perempuan itu tersadar lalu mengucapkan “Terima kasih.” Setelah itu dia meninggal. Dalam permenungannya, Ibu Teresa berkata, “Seandainya aku menjadi dia apa yang akan kuperbuat? Aku jawab sendiri, “Pasti akan berbuat sebisanya untuk menarik perhatian orang lain. Pasti aku akan merengek, “Aku aya lapar. Aku kedinginan.” Atau “Aku sekarat.” Sebaliknya perempuan itu sungguh luar biasa. Dia mengucapkan “Terima kasih.” Orang miskin sungguh menganggumkan.

Dalam kesederhanaan dan kemiskinan banyak orang yang mudah sekali mengucapkan syukur. Mereka mengucapkan terima kasih atas hal-hal kecil yang diterima. Mereka tidak menuntut hal besar. Sebaliknya kita sering kali ingin mendapatkan anugerah Allah yang lebih banyak atau besar dari yang sudah dimiliki. Oleh karena itu Ibu Teresa senantiasa mengajarkan agar kita mau belajar dari orang miskin.

Minggu, 21 Juni 2009

SIAPA YANG TAKUT MELEMPAR BATU?

Anak seorang tokoh umat sedang tersandung masalah besar dan menjadi pembicaraan publik sebab dimuat dalam berbagai media masa. Banyak orang mulai kasak kusuk membicarakan bagaimana mereka tidak mengetahui bila anaknya melakukan hal yang dilarang oleh negara? Beberapa orang menyesali perbuatan anaknya yang dianggap nakal sejak masih remaja. Beberapa lagi mengkritik tokoh itu yang dianggap gagal mendidik anaknya sehingga sering membuat masalah. Masih ada beberapa pendapat lain yang beredar dari mulut ke mulut dan intinya menyalahkan keluarga itu.

Orang itu ketika masih menjadi tokoh umat sangat disegani. Dia dikenal hampir oleh semua umat di tempat ini, sebab dia terlibat dalam beberapa organisasi dan kepengurusan Gereja. Pada saat itu banyak orang memujinya sebagai tokoh yang hebat. Namun ketika jatuh semua kehebatan dan pujian itu hilang begitu saja. Mengapa orang begitu mudah melupakan kebaikan seseorang hanya karena sebuah masalah? Inilah beratnya bila seorang ditokohkan. Sedikit kesalahan saja dapat menjadi bahan gunjingan. Apalagi bila kesalahannya sangat fatal dan menjadi sorotan publik, maka segala yang dibangunnya akan runtuh.

Apakah manusia tidak boleh jatuh? Memang diharapkan manusia hidupnya selalu bersih. Semua orang pun ingin hidup baik namun tidak jarang ada saat dimana manusia tidak mampu menguasai dirinya atau situasi di sekitarnya sehingga jatuh dalam dosa. Tokoh itu tidak mampu menguasai perilaku anaknya yang sudah dianggap dewasa sehingga anaknya jatuh. Hal ini bukan untuk membenarkan orang yang jatuh dalam kesalahan-kesalahan fatal atau dosa. Atau membangun sikap permisif dalam diri sehingga bila jatuh dalam dosa merasa tidak perlu dipersoalkan. Namun ada saat manusia lengah. “Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya.” (1Ptr 5:8). Ada saat dimana manusia tidak siap dan berjaga.

Sesama adalah cermin diri kita. Sering kali dalam diri kita tersimpan dosa-dosa yang kita tutup rapat agar orang lain tidak tahu. Kita sadar bahwa ada bagian sejarah hidup yang ingin kita tolak. Namun itu sudah menjadi bagian sejarah hidup. Akibatnya kita masuk dalam konflik diri. Bila sesama jatuh dalam dosa seolah kita diingatkan akan dosa kita sendiri. Kemarahan dan kekecewaan pada orang sebetulnya kekecewaan dan kemarahan pada diri sendiri. Dalam hal ini dibutuhkan sikap rendah hati, dimana kita berani menerima segala luka dan dosa yang mewarnai sejarah hidup kita. Semakin berani menerima kekurangan dan kelemahan diri maka akan semakin mudah untuk menerima orang yang jatuh dalam dosa dan tidak mudah menggunjingkannya.

Namun sikap rendah hati yang membawa kesadaran bahwa kita juga adalah manusia yang lemah, bukanlah suatu hal yang mudah. Kita ingin tampil sebagai orang baik yang tidak pernah berdosa. Maka bila ada sesama yang berdosa kita akan menghujatnya agar perhatian orang lain tidak tertuju pada kita melainkan pada orang yang dianggap berdosa. Agar orang lain tidak memperhitungkan dosa kita melainkan dosa orang lain. Yesus mempunyai cara yang unik untuk menyadarkan orang bahwa dirinya juga berdosa. "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.”. (Yoh 8:7) Tantangan yang dilontarkan oleh Yesus juga ditujukan pada semua orang, termasuk kita. Ternyata kita berani meladeni tantangan Yesus. Kita melempari orang yang berdosa dengan gunjingan, tatapan sinis, memperbesar masalah yang ada dan sebagainya. Itulah batu-batu yang kita lemparkan pada orang yang berdosa. Bila orang Farisi yang sering kita kecam sebab kita anggap sebagai orang munafik saja malu untuk melempari perempuan yang tertangkap basah berbuat dosa, ternyata kita jauh lebih parah daripada orang Farisi. Orang Farisi setelah mendengar tantangan Yesus lalu pergi dengan sembunyi-sembunyi karena malu, namun bila kita ada disana akan menjawab, “Siapa takut!” lalu mengambil batu dan melempari perempuan itu.

DISALIB DAN MENYALIBKAN

Penyaliban Yesus adalah suatu peristiwa yang sangat mengerikan. Setelah semalaman disiksa lalu Dia harus memanggul salib menuju ke Golgota. Meski sudah tersungkur tanpa daya, namun Dia tetap harus memikulnya. Dalam kondisi tubuh yang telah tidak berdaya, Dia dipaku pada kayu salib dan dibiarkan tergantung selama beberapa jam terbakar panas terik matahari. Ketika haus Dia diberi minum cuka yang membuatNya bertambah haus. Siksa akhir yang diterima adalah jenasahNya ditusuk tombak.

Pada saat mengikuti ibadat jalan salib kita terharu membayangkan drama penyiksaan yang mengerikan itu. Kita bisa gregetan dan marah melihat penduduk Yerusalem yang beramai-ramai mengutuki Yesus. Padahal mungkin sebagian dari mereka dulu pernah menyanjung dan ingin disentuh olehNya. Mereka percaya bahwa Yesus akan mampu menyelematkannya, sehingga mereka begitu antusias saat Yesus masuk Yerusalem. Lalu kemana mereka semuanya ketika Yesus disalibkan? Kemana 5000 orang pria dan ribuan anak dan perempuan yang mengikuti Dia? Semua hilang ditelan bumi.

Pada jaman ini kisah penyaliban masih terus berlangsung di berbagai tempat bahkan mungkin ada di sekitar kita. Mungkin kitalah yang disalibkan atau sebaliknya kitalah yang menjadi aktor utama penyaliban sesama. Orang miskin yang hanya punya gubuk ditepi sungai dibongkar paksa dengan kekerasan. Pedagang yang menanamkan semua modalnya dalam sebuah kereta dorong digaruk oleh petugas penertiban kota dan isi keretanya dihancurkan. Orang yang sudah tua dan sakit dibiarkan tergeletak menderita di tepi jalan. Istri yang sudah berusaha melayani suaminya dengan sepenuh hati dipukuli hanya karena kesalahan sedikit saja. Masih banyak lagi contoh penyaliban jaman kini. Kemana kita ketika mereka disalibkan? Mengapa kita yang terharu ketika mengikuti jalan salib ternyata berubah menjadi prajurit yang menyalibkan orang-orang di sekitar kita dengan sangat keji?

Kita juga dapat menjadi orang yang bersorak sorai ketika Yesus masuk Yerusalem namun setelah melihat kerumunan masa yang menghujatNya maka kita pun berbalik menjadi orang yang menghujat Yesus. Sering dalam hidup kita takut untuk mengambil resiko melawan arus. Dalam hati kita sudah mencanangkan tidak akan korupsi, namun ketika semua orang di tempat kerja melakukan korupsi, maka kita pun menjadi terlibat korupsi. Kita tahu hal itu salah tapi kita tidak berani mengambil resiko untuk melawan teman-teman seprofesi. Atau kita lebih suka lari bersembunyi sambil menyesali diri. Kita yakin bahwa Yesus akan membawa keselamatan, namun ketika orang disekitar kita menghujat Yesus maka kita diam saja. Kita tidak berani menunjukkan bahwa kita adalah pengikut Kristus. Kita menjadi seperti Petrus yang menyangkal Yesus.

Inilah tantangan kita. Dalam negara yang katanya berlandaskan kebhinekaan, namun dalam praktek sehari-harinya masih tampak samar-samar, membuat kita sering mengambil peran seperti pengikut Yesus pada jaman itu. Kita lebih suka bersembunyi dan mengikuti arus daripada bertahan pada ajaran dan keyakinan akan ajaran Yesus. Bahkan sebaliknya kita pun terlibat dalam penyiksaan dan penyaliban Yesus yang ada dalam saudara dan saudari kita dengan perbuatan-perbuatan, sikap dan kata kita yang tajam sehingga membuat mereka menderita.

Mengikuti Yesus bukan hanya sekedar berdoa atau mengikuti ibadat jalan salib, namun melakukan hal-hal yang nyata. Yakobus menantang, "Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku." (Yak 2:18). Mengikuti Yesus bukan sekedar mengejar masuk surga setelah meninggal tapi bersama-sama membangun surga di dunia ini. Surga atau Kerajaan Allah baru akan terbangun bila kita berani menjalankan ajaran Yesus secara konsisten meski harus disalibkan. “Tetapi sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, kamu akan berbahagia. Sebab itu janganlah kamu takuti apa yang mereka takuti dan janganlah gentar” (1Ptr 4:16)

Kamis, 18 Juni 2009

CINTA UANG


Seorang teman tertawa ketika melihatku membeli seikat kangkung di sebuah supermarket. Dia bertanya buat apa seikat kangkung itu? Aku jelaskan bahwa aku punya seekor iguana dan binatang itu suka makan kangkung, maka aku belikan disini. Temanku mengejek kok mewah sekali untuk memberi makan iguana saja harus membeli kangkung di sebuah supermarket. Memang tampaknya mewah dan boros, tapi sebetulnya tindakanku adalah sebuah penghematan.

Iguana yang kupelihara masih kecil. Dia hanya membutuhkan 3 sampai 4 tangkai kangkung setiap harinya. Bila aku membeli kangkung di pasar memang harganya lebih murah. Dengan Rp 1000 aku sudah mendapat satu ikat besar. Tapi kangkung sebanyak itu dalam dua hari akan kubuang sebab daunnya sudah layu dan banyak yang busuk. Harga kangkung di supermarket memang lebih mahal yaitu Rp 1900 satu ikat yang lebih kecil dibandingkan kangkung harga Rp 1000 di pasar. Tapi bila beli di supermarket maka kangkung akan awet selama seminggu. Jadi bila aku beli di pasar maka setiap dua hari sekali aku harus membeli dan membuang kangkung. Tapi bila beli di supermarket maka aku hanya membeli seminggu sekali. Aku juga tidak perlu membuang kangkung yang busuk dan layu.

Aku tidak tahu mengapa sayur dan buah di supermarket bisa awet dan tidak busuk. Pernah aku mencoba meletakkan sebuah apel di meja. Aku ingin tahu apakah apel itu akan busuk atau tidak. Ternyata setelah 4 bulan apel itu tidak busuk. Hanya sedikit kisut di kulitnya. Padahal apel yang baru dipetik dalam waktu satu minggu saja sudah akan dimakan ulat dan busuk. Aku yakin bahwa apel itu sudah diberi suatu bahan kimia sehingga menghambat proses pembusukan. Untuk mengetahui mengapa apel tidak busuk perlu penyelidikan oleh ahli kimia dan pertanian. Ini bukan bidangku.

Sudah banyak orang membicarakan bahwa banyak sayur dan buah diberi bahan kimia sehingga ulat tidak mau memakannya atau untuk menghambat proses pembusukan. Aku tidak tahu apakah bahan kimia itu berbahaya bagi kesehatan manusia atau tidak. Kalau toh membahayakan mengapa dipakai juga? Inilah tuntutan jaman dimana orang berusaha meraih keuntungan sebanyak mungkin tanpa peduli apakah yang dilakukan akan membahayakan kesehatan manusia atau tidak. Dalam pemberitaan di TV maupun koran beberapa kali dikisahkan orang yang sengaja menggunakan bahan kimia untuk pembuatan makanan agar tampak bagus, bersih dan awet. Padahal bahan kimia itu berbahaya bagi kesehatan manusia. Orang tidak peduli lagi akan keselamatan konsumen. Baginya hal yang terpenting adalah dia mendapat keuntungan yang banyak.

St. Paulus mengatakan ”Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.” (1Tim 6:10). Pada jaman ini oleh karena uang orang tidak hanya menyimpang dari iman tapi juga menyimpang dari norma-norma dan nilai-nilai kehidupan. Orang tega berlaku kejam pada sesamanya bahkan keluarganya demi uang. Orang tega merendahkan martabat sesamanya bahkan dirinya demi uang. Maka benar bahwa uang adalah akar segala kejahatan. Dalam hal ini bukan uang yang bermasalah tapi rasa cinta pada uanglah yang menjadi masalahnya.

Orang sudah menggeser fungsi uang dari yang semula sebagai sarana penunjang hidup menjadi tujuan dari hidup. Orang berlomba untuk mengumpulkan uang sebanyak mungkin. Maka pada jaman ini orang dihormati bila punya uang. Pada jaman dahulu orang dihormati bila dia keturunan bangsawan atau mempunyai gelar akademis atau ketrampilan dalam sebuah bidang. Namun pada jaman ini orang tidak peduli lagi dengan semua gelar dan ketrampilan. Meski ada orang yang punya sederet gelar dan ketrampilan tapi bila tidak punya uang maka dia tidak akan dihormati sebagai manusia. Dengan uang orang dapat membeli segalanya bahkan sesamanya.

Rabu, 17 Juni 2009

LULUS


Di sebuah jalan protokol macet total. Serombongan anak-anak SMA dengan mengendarai sepeda motor memenuhi seluruh badang jalan, sehingga tidak ada kendaraan yang mampu mendahului mereka. Padahal mereka bergerak lambat sehingga membuat macet. Hampir semua masih mengenakan seragam sekolah. Baju putih dan celana atau rok abu-abu. Pakaian mereka tidak lagi bersih, sebab penuh dengan corat caret cat aneka warna. Anak-anak itu sedang bersuka cita merayakan kelulusan sekolah.

Mengapa kelulusan dirayakan seperti itu? Seorang teman mengatakan inilah akibat sistem pendidikan yang menindas, sehingga kelulusan adalah saat keterlepasan dari penindasan. Saat mereka merdeka. Mendengar pendapat itu aku tersenyum. Apakah memang sekolah sangat menindas sehingga saat kelulusan perlu dirayakan sedemikian rupa? Sistem pendidikan saat ini memang sangat berat. Aku kadang heran seorang anak SD berangkat sekolah dengan tas yang sedemikian besar penuh buku pelajaran. Bila melihat buku sebanyak itu pasti pelajarannya juga jauh lebih berat. Setelah menempuh pelajaran dan aneka tugas dan ulangan yang berat, mereka juga dibebani ujian nasional yang lebih berat lagi. Soal yang sama harus dikerjakan oleh semua murid tanpa peduli standart sekolahnya. Ada sekolah yang muridnya pandai tapi ada pula sekolah yang muridnya pas-pasan. Ada sekolah yang menjadi ruang belajar yang serius tapi ada pula sekolah yang asal-asalan saja. Semua harus mengerjakan soal ujian yang sama. Maka ketika lulus pantas saja mereka merasa merdeka dan terbebas dari aneka tekanan.

Pernah ada seorang warga Surabaya bercerita padaku. Ketika Soekarno Hatta mengumumkan kemerdekaan, maka dia sangat bersuka cita. Dia lalu mengajak teman-temannya pergi ke stasiun untuk naik trem, sebab selama ini mereka hanya mampu melihat orang naik trem listrik. Ketika kondektur meminta karcis maka mereka ngotot bahwa tidak perlu membeli karcis sebab Indonesia sudah merdeka. Kemerdekaan berarti bebas berbuat sesuka hatinya. Demikian pula anak-anak SMA itu. Mereka mengendarai motor tanpa helm. Jalan seenaknya. Bahkan ada yang berdiri di atas motor yang sedang berjalan. Mereka bebas mengendarai motornya tanpa takut akan polisi atau yang lain.

Seorang teman mengatakan bahwa mereka pantas bersuka cita sebab lulus. Apakah mereka sungguh bersuka cita? Lulus SMU bukanlah akhir dari perjalanan pendidikan, sebab ijasah SMU boleh dikatakan kurang ada gunanya untuk menunjang kehidupan. Saat ini berbekal ijasah S1 saja sulit untuk mendapatkan pekerjaan apalagi SMU, kecuali pekerjaan kasar atau buruh produksi. Bila dia anak orang kaya maka dia pasti akan melanjutkan sekolah atau mengembangkan usaha orang tua. Tapi bila dia anak orang yang kurang mampu maka lulus SMU menjadi saat yang membingungkan. Ingin kuliah tidak mempunyai biaya sedang mau bekerja sulit untuk mendapatkannya. Apakah ini menjadi suka cita? Apakah segala tingkah di jalanan itu bukan merupakan ungkapan kefrustasian akan masa depan? Selagi ada waktu untuk menunjukkan kekuatannya maka mereka akan menunjukkan, setelah itu mereka akan menjadi manusia yang lemah. Manusia yang gamang akan masa depannya.

Mobilku masih merambat di belakang barisan sepeda motor. Aku tersenyum prihatin melihat semua ini. Bagiku mereka saat ini hidup dalam kesemuan. Suka cita kelulusan yang semu. Di jalanan mereka bersorak sorai penuh suka cita, namun sesampai di rumah mereka bingung akan kemana setelah ini. Kuliah tidak mampu, bekerja tidak laku. Lalu apa?

Kamis, 11 Juni 2009

MANOHARA ODELIA PINOT DAN SITI HAJAR


Akhir-akhir ini banyak orang membicarakan Manohara Odelia Pinot, seorang gadis cantik yang dijadikan istri oleh putra raja Kelantan, Tengku Muhammad Fakhry. Hampir setiap hari beberapa stasiun televisi swasta memuat berita tentang Manohara dan ibunya yang sangat gencar melakukan kampanye sambil berlinang air mata. Banyak orang menjadi iba akan nasib yang menimpa seorang gadis cantik seperti Manohara. Kisah Manohara, yang mirip cerita sinetron, menjadi sebuah kasus yang besar, sebab melibatkan dua negara dan terkait dengan anak seorang raja. Maka pengacara Manohara tidak segan untuk mengkritik dubes RI di Malaysia dengan kata-kata yang cukup pedas bagi telinga seorang pejabat negara. Kisah Manohara memicu juga demo anti Malaysia yang juga dikaitkan dengan kasus perbatasan Ambalat.

Lain Manohara lain pula nasib Siti Hajar. Dia seorang pembantu rumah tangga yang mengalami penyiksaan mengerikan selama 3 tahun oleh Michel, majikannya. Siti Hajar seorang janda dari Garut yang bekerja di Malaysia. Ketika bekerja dia diberi janji akan dibayar 17.000 ringgit selama 34 bulan atau 500 ringgit per bulan. Bila melihat kurs 1 ringgit sama dengan Rp 2900, maka penghasilan Siti Hajar Rp 1.450.000/ bulan. Sebuah gaji yang lumayan tinggi bagi seorang pembantu rumah tangga. Tapi gaji besar hanya menjadi sebuah impian sebab selama bekerja dia belum pernah dibayar sebaliknya dia mendapatkan penyiksaan yang sangat mengerikan.

Kisah memilukan yang dialami Siti Hajar bukanlah yang pertama terjadi. Sejak tahun 2004 ada minimal 9 kasus TKI yang mengalami penyiksaan mengerikan di Malaysia. Tahun 2004 dialami oleh Nirmala Bonat, seorang gadis dari Kupang. Wajahnya menjadi mengerikan akibat siksaan dari majikannya. Siti Hajar pun tidak kalah mengerikan dibandingkan dengan Nirmala Bonat. Beberapa kali dia disiram air panas dan dipukul. Wajahnya pun berubah menjadi mengerikan.

Namun nasib Siti Hajar jauh berbeda dengan nasib Manohara. Berita tentang Siti Hajar hanya ditayangkan beberapa saat saja oleh stasiun TV, sehingga bila orang ditanya siapa Siti Hajar maka banyak yang menjawab dia adalah ibu dari nabi Ismail. Tetapi bila orang ditanya siapa Manohara, maka dengan cepat akan menjawab dia seorang model yang disiksa oleh keluarga kerajaan. Dengan demikian kasus Siti Hajar memang tidak terungkap secara luas.

Kasus penyiksaan pembantu selamanya tidak pernah mempengaruhi orang secara luas. Jarang orang peduli bila ada pembantu yang disiksa. Padahal entah sudah berapa banyak TKI yang mengalami siksaan mengerikan dari para majikannya. Kasus ini akan timbul sesaat setelah itu dilupakan tanpa akhir yang jelas. Tidak ada pengacara hebat yang mau terlibat apalagi sampai penyelamatan yang melibatkan FBI segala. Tidak ada liputan yang gencar dan tayangan TV yang terus menerus. Seolah kasus ini hanyalah kasus biasa saja. Atau mungkin status pembantu kurang menarik untuk ditayangkan, sebab tayangan TV lebih mementingkan tuntutan pasar daripada memberikan berita. Atau mungkin ibu para pembantu itu tidak segencar ibu Manohara dalam berkampanye.

Siti Hajar dan Manohara adalah sama-sama perempuan mengalami siksaan bahkan Siti Hajar jauh lebih parah dan mengerikan. Bila Manohara dieksploitasi habis-habisan mengapa Siti Hajar tidak? Inilah lemahnya neoliberalisme, dimana semua diukur dengan keuntungan materi. Apa saja yang menguntungkan akan dieksploitasi habis-habisan. Orang pun akan bergerak bila ada yang menguntungkan bagi dirinya. Akibatnya nilai manusia diabaikan. Manohara yang cantik dan model atau selebritis akan memberikan keuntungan bagi TV untuk mengeksploitasinya sebaliknya Siti Hajar yang biasa saja dan hanya pembantu tidak memberikan keuntungan.

Kisah Manohara dan Siti Hajar menunjukkan jelas bahwa manusia dinilai bukan dari dirinya sebagai citra Allah atau martabatnya melainkan dari statusnya. Seharusnya pembelaan bukan karena orang itu cantik dan selebritis melainkan karena dia manusia yang perlu mendapatkan perlindungan dan pembelaan. Inilah tantangan kita dewasa ini dimana kita sering melihat manusia berdasarkan status dan situasi hidupnya bukan dari martabatnya. Bila Yesus ada saat ini apakah yang akan Dia lakukan ketika melihat kasus Manohara dan Siti Hajar? Yesus datang untuk membela orang yang miskin dan lemah tanpa memandang status dan kedudukan atau harta yang dimilikinya. BagiNya semua manusia adalah bermartabat sama, bahkan orang yang miskin dan lemah adalah prioritas utama.

Powered By Blogger