Sambil menikmati arak beras ketan aku mendengarkan dua orang teman yang sedang menceritakan kegaluan hati mereka. Saat ini ada beberapa orang yang sedang ditahan oleh aparat keamanan akibat melakukan perusakan properti sebuah perusahaan saat aksi menentang perusahaan perkebunan sawit. Pembukaan perkebunan sawit memang sedang marak dan menimbulkan pro dan kontra di tempat ini. Kehadiran perusahaan yang berusaha membebaskan lahan milik masyarakat yang sering kurang adil dan kesadaran masyarakat bahwa sawit dapat merusak tanah meski menjanjikan hasil yang cukup bagus pada saat ini. Persoalan tanah inilah yang membuat beberapa penduduk protes sampai terjadi perusakan.
Seorang teman mengatakan bahwa dia tidak mau terlibat dalam masalah ini, sebab dapat menjebaknya dalam masalah yang jauh lebih rumit. Menurutnya bila dia terlibat dalam pendampingan warga yang ditangkap maka dia akan berhadapan dengan pemerintah dan Gereja. Mendengar ini aku menjadi terkejut. Temanku menjelaskan bahwa perusahaan didukung oleh pemerintah daerah. Sedangkan pemimpin Gereja sangat dekat dengan pemerintah daerah sehingga cenderung mendukung kebijakan pemerintah daerah. Lalu temanku bertanya sebaiknya apa yang harus dilakukan? Aku jawab sebaiknya kita membela yang lemah dan benar. Itu juga yang diajarkan oleh Yesus selama karyaNya. Dia selalu berada pada orang yang terpinggirkan, tak berdaya dan miskin. Dia tidak berada dalam posisi orang yang kuat.
Warga dianggap bersalah sebab merusak properti milik perusahaan, sehingga mereka ditangkap aparah. Tapi mengapa mereka sampai merusak? Inilah yang tidak dipahami. Bila mereka pendapat mereka didengarkan tentu tidak akan terjadi perusakan yang merupakan bentuk ungkapan kemarahan warga yang kurang dipahami. Kebuntuan komunikasi sering menjadi pemicu kekerasan. Hal semacam ini sudah sering terjadi di berbagai tempat. Terjadinya kerusuhan yang menimbulkan kurban akibat tembakkan atau pemukulan oleh TNI di Kebumen atau kerusahan di Alas Tlogo, Pasuruan dan sebagainya disebabkan warga melakukan perusakan properti milik TNI. Terjadinya perusakan itu disebabkan terjadinya kebuntuan komunikasi. Pihak pemerintah tidak mampu menjadi mediator apalagi melindungi warganya. Bahkan tanpa rasa malu para pemimpin daerah berusaha mencari untung dari masalah ini. Akhirnya rakyat harus berjuang sendiri untuk mempertahankan tanah miliknya.
Gereja seharusnya menjadi mediator antara perusahaan yang telah mampu membeli pemerintahan dengan warga. Tapi hal ini tidak terjadi. Pemimpin Gereja tampaknya lebih berpihak pada yang kuat dan tidak berani mengambil resiko bila membela warga. Dengan demikian Gereja sudah kehilangan jati dirinya sebagai pejuang keadilan. Dalam dokumen sosial yang biasanya disebut sebagai Ajaran Sosial Gereja sebetulnya sudah jelas bahwa Gereja harus membela rakyat yang sering dikalahkan oleh para pemilik modal. ASG yang dimulai dari ensiklik Rerum Novarum dimana Paus Leo XIII pada tahun 1891 mengkritik kapitalisme dan sosialisme yang dianggap merugikan buruh sampai saat ini para Paus terus menulis dokumen yang menunjukkan posisi Gereja dalam perjuangan rakyat miskin dan tertindas. Para Paus menyerukan akan keadilan dan kesejahteraan bersama.
Tapi tampaknya Gereja lebih suka tampil sebagai lembaga amal daripada lembaga perjuangan dan corong dari masyarakat yang tertindas. Dorothy Day pernah menulis “Musim panasku yang diisi dengan membaca, berdoa dan berefleksi terasa penuh dosa ketika aku menyaksikan saudara-saudariku dalam perjuangan mereka. Perjuangan yang dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi melainkan untuk kepentingan orang lain.” Inilah tantangan Gereja pada jaman ini dimana keadilan sering kali dikalahkan oleh pemilik modal yang mampu membeli penguasa. Para pemimpin Gereja harus berani menunjukkan posisinya dimana seharusnya dia berada, meski posisi itu merupakan suatu pilihan yang sulit. Dia akan dimusuhi oleh pejabat dan pengusaha.
Seorang teman mengatakan bahwa dia tidak mau terlibat dalam masalah ini, sebab dapat menjebaknya dalam masalah yang jauh lebih rumit. Menurutnya bila dia terlibat dalam pendampingan warga yang ditangkap maka dia akan berhadapan dengan pemerintah dan Gereja. Mendengar ini aku menjadi terkejut. Temanku menjelaskan bahwa perusahaan didukung oleh pemerintah daerah. Sedangkan pemimpin Gereja sangat dekat dengan pemerintah daerah sehingga cenderung mendukung kebijakan pemerintah daerah. Lalu temanku bertanya sebaiknya apa yang harus dilakukan? Aku jawab sebaiknya kita membela yang lemah dan benar. Itu juga yang diajarkan oleh Yesus selama karyaNya. Dia selalu berada pada orang yang terpinggirkan, tak berdaya dan miskin. Dia tidak berada dalam posisi orang yang kuat.
Warga dianggap bersalah sebab merusak properti milik perusahaan, sehingga mereka ditangkap aparah. Tapi mengapa mereka sampai merusak? Inilah yang tidak dipahami. Bila mereka pendapat mereka didengarkan tentu tidak akan terjadi perusakan yang merupakan bentuk ungkapan kemarahan warga yang kurang dipahami. Kebuntuan komunikasi sering menjadi pemicu kekerasan. Hal semacam ini sudah sering terjadi di berbagai tempat. Terjadinya kerusuhan yang menimbulkan kurban akibat tembakkan atau pemukulan oleh TNI di Kebumen atau kerusahan di Alas Tlogo, Pasuruan dan sebagainya disebabkan warga melakukan perusakan properti milik TNI. Terjadinya perusakan itu disebabkan terjadinya kebuntuan komunikasi. Pihak pemerintah tidak mampu menjadi mediator apalagi melindungi warganya. Bahkan tanpa rasa malu para pemimpin daerah berusaha mencari untung dari masalah ini. Akhirnya rakyat harus berjuang sendiri untuk mempertahankan tanah miliknya.
Gereja seharusnya menjadi mediator antara perusahaan yang telah mampu membeli pemerintahan dengan warga. Tapi hal ini tidak terjadi. Pemimpin Gereja tampaknya lebih berpihak pada yang kuat dan tidak berani mengambil resiko bila membela warga. Dengan demikian Gereja sudah kehilangan jati dirinya sebagai pejuang keadilan. Dalam dokumen sosial yang biasanya disebut sebagai Ajaran Sosial Gereja sebetulnya sudah jelas bahwa Gereja harus membela rakyat yang sering dikalahkan oleh para pemilik modal. ASG yang dimulai dari ensiklik Rerum Novarum dimana Paus Leo XIII pada tahun 1891 mengkritik kapitalisme dan sosialisme yang dianggap merugikan buruh sampai saat ini para Paus terus menulis dokumen yang menunjukkan posisi Gereja dalam perjuangan rakyat miskin dan tertindas. Para Paus menyerukan akan keadilan dan kesejahteraan bersama.
Tapi tampaknya Gereja lebih suka tampil sebagai lembaga amal daripada lembaga perjuangan dan corong dari masyarakat yang tertindas. Dorothy Day pernah menulis “Musim panasku yang diisi dengan membaca, berdoa dan berefleksi terasa penuh dosa ketika aku menyaksikan saudara-saudariku dalam perjuangan mereka. Perjuangan yang dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi melainkan untuk kepentingan orang lain.” Inilah tantangan Gereja pada jaman ini dimana keadilan sering kali dikalahkan oleh pemilik modal yang mampu membeli penguasa. Para pemimpin Gereja harus berani menunjukkan posisinya dimana seharusnya dia berada, meski posisi itu merupakan suatu pilihan yang sulit. Dia akan dimusuhi oleh pejabat dan pengusaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar