Buntak adalah bahasa Dayak Uud Danum yang berarti belalang. Beberapa tahun lalu ada hama belalang yang menyerang perkebunan di daerah Nanga Serawai. Kejadian ini mendorong beberapa orang untuk membentuk komunitas dalam mengatasi belalang dan menjaga kebun mereka agar tidak terserang belalang lagi. Perkumpulan mereka dinamai “Buntak” untuk mengingat peristiwa berdirinya perkumpulan akibat buntak. Pada awal berdirinya ada 45 orang yang menjadi anggota. Tapi seiring berjalannya waktu kini dan seleksi alamiah maka anggota komunitas Buntak tinggal berjumlah 22 orang. Komunitas ini dipimpin oleh seorang kepala sekolah SMP.
Setiap anggota Buntak mempunyai lahan yang ditanami karet, sebab mereka menolak menanam sawit yang merusak alam. Mereka mengadakan kerja bakti secara bergilir di kebun-kebun milik anggota. Bila bulan ini diadakan kerja bakti di kebun milik A, maka semua anggota datang ke kebun milik A. Mereka mengerjakan apa saja yang diperintah oleh A untuk merawat kebunnya. Bila A meminta untuk menyabit ilalang, maka semua menyabit ilalang dan sebagainya. Semangat ini sangat bagus dan merupakan cerminan dari semangat Gereja awali. Memang dalam semangat Gereja awali lebih keras lagi dimana setiap anggota tidak mempunyai hak milik, sebab semuanya adalah milik bersama. “Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorang pun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama.” (Kis 4:32). Komunitas Buntak masih menghargai hak milik pribadi tapi seolah-olah menjadi milik bersama sehingga dirawat bersama-sama seperti mereka merawat milik sendiri.
Komunitas Buntak merupakan angin segar di tengah sikap individualis dimana orang hanya berpikir untuk dirinya saat ini saja, sedangkan dalam komunitas ini ditekankan kebersamaan. Maka kekuatan mereka adalah adanya pertemuan-pertemuan rutin untuk membahas masalah kebun dan aneka hal lainnya. Kehadiran komunitas Buntak di Nanga Serawai juga merupakan kekuatan baru ditengah masyarakat untuk menjadi sarana pembelajaran perjuangan dan pilihan dalam menanami kebun mereka. Saat ini banyak warga yang memberikan lahannya untuk dikelola oleh perusahaan sawit, sebab mereka ditekan oleh aparat pemerintah yang telah bekerja sama dengan perusahaan. Mereka juga terbujuk oleh segala rayuan dan janji perusahaan. Sawit memang tampaknya menjanjikan bagi kehidupan saat ini. Tapi bukan untuk masa depan, sebab sawit merusak lahan perkebunan dan hanya menghasilkan sekitar 20 sampai 25 tahun saja. Sedangkan karet dapat menjaga air tanah, disekitarnya dapat ditanami tumbuhan lain dan terus berproduksi meski sudah 25 tahun juga memungkinkan hewan hidup di sekitarnya. Menanam karet adalah orang yang mau berpikir ke depan demi anak dan cucu mereka. Sedangkan menanam sawit hanya berpikir untuk diri sendiri saat ini, sebab 25 tahun ke depan lahan ini akan rusak.
Komunitas Buntak yang menolak lahan sawit maka tidak jarang harus berhadapan dengan aparat pemerintah. Menurut pemimpin komunitasnya dia sudah beberapa kali dicaci maki oleh aparat kecamatan sebab dia tetap bertahan untuk menanam karet dan tidak mau melepaskan lahan mereka pada perusahaan sawit. Inilah perjuangan katanya sambil tersenyum. Dia akan terus berjuang bersama komunitasnya, meski harus berhadapan dengan pemerintah bahkan aparat Gereja. Telah terdengar gosip bahwa petinggi Gereja dekat dengan aparat pemerintah yang sudah dibeli oleh perusahaan. Hal ini sangat memprihatinkan. Dalam buku biografi Dorothy Day yang ditulis Jim Forest, Dorothy mengatakan bahwa “Memang Gereja menangisi kemalangan orang miskin, tapi tidak ada teriakan melawan mereka yang menumpuk keuntungan dengan mengorbankan orang miskin.” Kegelisahan pembela kaum miskin adalah melihat Gereja diam dan hanya berkutat dalam karya amal dan altar. Para pemimpin Gereja harusnya bercermin dari pemimpin Buntak untuk berjuang demi rakyat seperti Yesus yang sepanjang hidupNya berpihak dan berada di tengah kaum miskin dan tertindas. Gereja harus kembali ke semangat awalinya menjadi pembela kaum miskin.
Setiap anggota Buntak mempunyai lahan yang ditanami karet, sebab mereka menolak menanam sawit yang merusak alam. Mereka mengadakan kerja bakti secara bergilir di kebun-kebun milik anggota. Bila bulan ini diadakan kerja bakti di kebun milik A, maka semua anggota datang ke kebun milik A. Mereka mengerjakan apa saja yang diperintah oleh A untuk merawat kebunnya. Bila A meminta untuk menyabit ilalang, maka semua menyabit ilalang dan sebagainya. Semangat ini sangat bagus dan merupakan cerminan dari semangat Gereja awali. Memang dalam semangat Gereja awali lebih keras lagi dimana setiap anggota tidak mempunyai hak milik, sebab semuanya adalah milik bersama. “Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorang pun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama.” (Kis 4:32). Komunitas Buntak masih menghargai hak milik pribadi tapi seolah-olah menjadi milik bersama sehingga dirawat bersama-sama seperti mereka merawat milik sendiri.
Komunitas Buntak merupakan angin segar di tengah sikap individualis dimana orang hanya berpikir untuk dirinya saat ini saja, sedangkan dalam komunitas ini ditekankan kebersamaan. Maka kekuatan mereka adalah adanya pertemuan-pertemuan rutin untuk membahas masalah kebun dan aneka hal lainnya. Kehadiran komunitas Buntak di Nanga Serawai juga merupakan kekuatan baru ditengah masyarakat untuk menjadi sarana pembelajaran perjuangan dan pilihan dalam menanami kebun mereka. Saat ini banyak warga yang memberikan lahannya untuk dikelola oleh perusahaan sawit, sebab mereka ditekan oleh aparat pemerintah yang telah bekerja sama dengan perusahaan. Mereka juga terbujuk oleh segala rayuan dan janji perusahaan. Sawit memang tampaknya menjanjikan bagi kehidupan saat ini. Tapi bukan untuk masa depan, sebab sawit merusak lahan perkebunan dan hanya menghasilkan sekitar 20 sampai 25 tahun saja. Sedangkan karet dapat menjaga air tanah, disekitarnya dapat ditanami tumbuhan lain dan terus berproduksi meski sudah 25 tahun juga memungkinkan hewan hidup di sekitarnya. Menanam karet adalah orang yang mau berpikir ke depan demi anak dan cucu mereka. Sedangkan menanam sawit hanya berpikir untuk diri sendiri saat ini, sebab 25 tahun ke depan lahan ini akan rusak.
Komunitas Buntak yang menolak lahan sawit maka tidak jarang harus berhadapan dengan aparat pemerintah. Menurut pemimpin komunitasnya dia sudah beberapa kali dicaci maki oleh aparat kecamatan sebab dia tetap bertahan untuk menanam karet dan tidak mau melepaskan lahan mereka pada perusahaan sawit. Inilah perjuangan katanya sambil tersenyum. Dia akan terus berjuang bersama komunitasnya, meski harus berhadapan dengan pemerintah bahkan aparat Gereja. Telah terdengar gosip bahwa petinggi Gereja dekat dengan aparat pemerintah yang sudah dibeli oleh perusahaan. Hal ini sangat memprihatinkan. Dalam buku biografi Dorothy Day yang ditulis Jim Forest, Dorothy mengatakan bahwa “Memang Gereja menangisi kemalangan orang miskin, tapi tidak ada teriakan melawan mereka yang menumpuk keuntungan dengan mengorbankan orang miskin.” Kegelisahan pembela kaum miskin adalah melihat Gereja diam dan hanya berkutat dalam karya amal dan altar. Para pemimpin Gereja harusnya bercermin dari pemimpin Buntak untuk berjuang demi rakyat seperti Yesus yang sepanjang hidupNya berpihak dan berada di tengah kaum miskin dan tertindas. Gereja harus kembali ke semangat awalinya menjadi pembela kaum miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar