Di rumah kepala dusun berkumpul beberapa bapak-bapak. Sambil minum tuak dan memakan kue-kue mereka tenggelam dalam pembicaraan tentang menerima sawit atau tidak. Saat ini ada sebuah perusahaan yang didukung oleh aparat pemerintah akan membuka kebun sawit. Mereka berusaha membeli tanah rakyat untuk dijadikan kebun sawit. Beberapa janji yang indah ditawarkan oleh perusahaan sawit. Beberapa orang termakan janji indah tawaran itu, tapi beberapa orang masih meragukan kebenaran tawaran itu dan mereka juga berpikir soal dampak dari pembukaan kebun sawit. Maka timbullah pro dan kontra antara menerima kebun sawit atau menolaknya.
Seorang bercerita bahwa bila menerima kebun sawit maka akan dibangun jalan darat yang menghubungkan antar kampung. Mereka juga akan dapat bekerja di kebun sawit dengan gaji yang tetap. Selain itu mereka juga dapat memiliki saham dari perusahaan dengan sistem plasma yaitu tanah mereka dikelola oleh perusahaan dan mereka mendapatkan keuntungan setiap bulannya. Memang sampai saat ini tidak ada jalan darat yang menghubungkan antar kampung, sehingga mereka harus menggunakan sungai. Padahal transportasi melalui sungai sangat mahal dan lambat. Untuk pergi ke sebuah kampung yang berjarak sekitar 7 kilometer saja mereka membutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan perahu bermesin 14 PK dan membutuhkan bensin kira-kira 8 liter. Padahal harga bensin Rp 12.500/ liter. Bila ada jalan darat maka orang dapat naik motor yang lebih cepat dan hemat.
Mendengar perdebatan itu aku bertanya apakah perusahaan akan membuat jalan antar kampung atau antar perkebunan dengan sungai tempat mengangkut sawit? Memang di beberapa perkebunan sawit ada jalan yang lebar dan keras bahkan bagus, tapi itu demi kepentingan perusahaan untuk memelihara pohon dan mengangkut buah sawit. Tidak untuk kampung. Memang ada kampung yang diuntungkan bila letak kampung itu dilalui oleh perusahaan untuk mengangkut sawit. Selain itu tidak ada kampung di dalam kebun sawit kecuali perumahan untuk pekerja. Maka sarana transportasi pasti masih akan tetap menjadi masalah. Perusahaan menjanjikan pekerjaan sebagai buruh bagi para warga. Hal ini memang konsekwensi perusahaan yang telah mengambil tanah warga. Konon tanah warga akan dibeli 600 ribu/ ha atau 1,2 juta/ha bila ada pohon karetnya. Bila menjadi buruh sawit maka selamanya akan tetap menjadi buruh perusahaan. Betapa mengenaskan rakyat menjadi buruh diatas tanah miliknya sendiri.
Perusahaan yang bekerja sama dengan pemerintah telah mengobral janji indah tentang kemakmuran dan kemajuan desa yang sesungguhnya merupakan suatu pembodohan. Masyarakat diberi impian yang indah tentang kemajuan desa dan hasil yang mencukupi bagi kebutuhan mereka. Semua itu pasti jauh dari kenyataan. Pemerintahpun ingin lepas tangan terhadap pembangunan fasilitas bagi masyarakat. Pembangunan jalan adalah tanggungjawab pemerintah yang merupakan pemanfaatan dana dari hasil pajak. Maka tidak perlu bergantung pada perusahaan sawit. Demikian pula pekerjaan adalah tanggungjawab pemerintah untuk membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi rakyat. Pemerintah seharusnya juga mampu melindungi tanah rakyat dari rampasan perusahaan. Pemerintah juga harus melindungi alam. Hutan di Kalimantan sudah semakin sedikit akibat penebangan, penggalian tambang dan perkebunan sawit. Pemerintah harus bertanggungjawab terhadap semua ini.
Tampaknya pemerintah ingin lepas tangan dari masalah kemiskinan, keterbelakangan masyarakat yang seharusnya menjadi tanggungjawabnya. Bahkan ingin mengeruk keuntungan dengan memperbodoh dan menekan masyarakat. Maka dibutuhkan orang atau lembaga yang memberikan penyadaran dimana masyarakat diajak untuk berpikir kritis sehingga mengetahui siapa yang dirugikan dan siapa yang diutungkan dalam setiap kebijakan pemerintah. Program perkebunan sawit apakah sungguh demi kesejahteraan rakyat atau hanya menguntungkan perusahaan yang dapat memberi upeti kepada pemerintah sehingga aparatnya semakin kaya?
Seorang bercerita bahwa bila menerima kebun sawit maka akan dibangun jalan darat yang menghubungkan antar kampung. Mereka juga akan dapat bekerja di kebun sawit dengan gaji yang tetap. Selain itu mereka juga dapat memiliki saham dari perusahaan dengan sistem plasma yaitu tanah mereka dikelola oleh perusahaan dan mereka mendapatkan keuntungan setiap bulannya. Memang sampai saat ini tidak ada jalan darat yang menghubungkan antar kampung, sehingga mereka harus menggunakan sungai. Padahal transportasi melalui sungai sangat mahal dan lambat. Untuk pergi ke sebuah kampung yang berjarak sekitar 7 kilometer saja mereka membutuhkan waktu sekitar 30 menit dengan perahu bermesin 14 PK dan membutuhkan bensin kira-kira 8 liter. Padahal harga bensin Rp 12.500/ liter. Bila ada jalan darat maka orang dapat naik motor yang lebih cepat dan hemat.
Mendengar perdebatan itu aku bertanya apakah perusahaan akan membuat jalan antar kampung atau antar perkebunan dengan sungai tempat mengangkut sawit? Memang di beberapa perkebunan sawit ada jalan yang lebar dan keras bahkan bagus, tapi itu demi kepentingan perusahaan untuk memelihara pohon dan mengangkut buah sawit. Tidak untuk kampung. Memang ada kampung yang diuntungkan bila letak kampung itu dilalui oleh perusahaan untuk mengangkut sawit. Selain itu tidak ada kampung di dalam kebun sawit kecuali perumahan untuk pekerja. Maka sarana transportasi pasti masih akan tetap menjadi masalah. Perusahaan menjanjikan pekerjaan sebagai buruh bagi para warga. Hal ini memang konsekwensi perusahaan yang telah mengambil tanah warga. Konon tanah warga akan dibeli 600 ribu/ ha atau 1,2 juta/ha bila ada pohon karetnya. Bila menjadi buruh sawit maka selamanya akan tetap menjadi buruh perusahaan. Betapa mengenaskan rakyat menjadi buruh diatas tanah miliknya sendiri.
Perusahaan yang bekerja sama dengan pemerintah telah mengobral janji indah tentang kemakmuran dan kemajuan desa yang sesungguhnya merupakan suatu pembodohan. Masyarakat diberi impian yang indah tentang kemajuan desa dan hasil yang mencukupi bagi kebutuhan mereka. Semua itu pasti jauh dari kenyataan. Pemerintahpun ingin lepas tangan terhadap pembangunan fasilitas bagi masyarakat. Pembangunan jalan adalah tanggungjawab pemerintah yang merupakan pemanfaatan dana dari hasil pajak. Maka tidak perlu bergantung pada perusahaan sawit. Demikian pula pekerjaan adalah tanggungjawab pemerintah untuk membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi rakyat. Pemerintah seharusnya juga mampu melindungi tanah rakyat dari rampasan perusahaan. Pemerintah juga harus melindungi alam. Hutan di Kalimantan sudah semakin sedikit akibat penebangan, penggalian tambang dan perkebunan sawit. Pemerintah harus bertanggungjawab terhadap semua ini.
Tampaknya pemerintah ingin lepas tangan dari masalah kemiskinan, keterbelakangan masyarakat yang seharusnya menjadi tanggungjawabnya. Bahkan ingin mengeruk keuntungan dengan memperbodoh dan menekan masyarakat. Maka dibutuhkan orang atau lembaga yang memberikan penyadaran dimana masyarakat diajak untuk berpikir kritis sehingga mengetahui siapa yang dirugikan dan siapa yang diutungkan dalam setiap kebijakan pemerintah. Program perkebunan sawit apakah sungguh demi kesejahteraan rakyat atau hanya menguntungkan perusahaan yang dapat memberi upeti kepada pemerintah sehingga aparatnya semakin kaya?
rakyat tidak pernah berhenti dijajah, sudah merdeka dijajah pula pemerintahnya sendiri
BalasHapus