Sejak awal kisah penciptaan Allah sudah menunjukkan posisiNya yaitu berpihak pada kaum tertindas dan lemah. Ketika Kain membunuh Habel, maka Allah berpihak pada Habel. “Firman-Nya: "Apakah yang telah kauperbuat ini? Darah adikmu itu berteriak kepada-Ku dari tanah.” (Kej 4:10). Dalam perjalanan sejarah bangsa Israel selanjutnya Allah selalu menunjukkan posisiNya dengan tegas. Melalui orang-orang pilihanNya, Allah mengadakan pembelaan pada kaum tertindas. Musa diutus untuk membebaskan bangsa yang diperbudak oleh Mesir. Samson, Amos, Hosea, Yesaya dan semua nabi mendapat perutusan untuk membela kaum miskin dan lemah. Puncaknya adalah Yesus yang membongkar akar dari penindasan dan membangun komunitas yang lebih baik.
Para nabi dalam Perjanjian Lama mengecam para penguasa yang bertindak tidak adil. Misalnya Amos yang mengecam orang yang memperkaya dirinya sendiri, "Dengarlah firman ini, hai lembu-lembu Basan, yang ada di gunung Samaria, yang memeras orang lemah, yang menginjak orang miskin,” (Am 4:1) atau Yesaya yang mengecam pembuat aturan, “Celakalah mereka yang menentukan ketetapan-ketetapan yang tidak adil, dan mereka yang mengeluarkan keputusan-keputusan kelaliman,” (Yes 10:1). Para nabi menyerukan hukuman Allah yang akan menimpa orang yang berlaku kejam terhadap sesamanya. Gambaran hukuman Allah yang diserukan para nabi sangat mengerikan. Bahkan pembuangan Babel dianggap sebagai hukuman Allah terhadap Israel yang telah berlaku tidak adil dan rajanya tidak mau mendengarkan suara Allah.
Yesus tidak melakukan sama seperti para nabi terdahulu. Dia tidak mengecam para penindas atau mengancam hukuman yang mengerikan, melainkan mengubah sistem yang tidak adil. Bila yang diubah hanya orangnya sedangkan sistem tidak diubah maka penindasan akan terjadi lagi. Lebih jauh lagi Yesus mencabut akar kejahatan yaitu karena orang telah kehilangan kasih kepada Allah dan sesamanya. Hukum-hukum pun diberi pendasaran baru. Dalam Kotbah di bukit Yesus dengan jelas dan tegas memberi nilai baru pada hukum yang telah dimanipulasi. Dia memberi tafsiran baru. “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” (Mat 5:27-28). Disini orang tidak lagi berpatok pada hukum tertulis tapi pada hati nurani. Maka perubahan Yesus sangat mendasar yaitu dari hati nurani manusia. Segala hukum, sistem dan tata aturan ibadah dapat dimanipulasi atau disesuaikan demi kepentingan yang berkuasa. Sedangkan hati nurani tidak dapat dimanipulasi. Maka orang harus jujur. “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” (Mat 5:37)
Kehadiran Yesus bukan saja membongkar sistem dan hukum yang ada, tapi juga menunjukkan keterlibatan Allah dalam masalah manusia. Dia menunjukkan dalam hidupNya yang miskin dan keberpihakkannya pada orang-orang yang ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang. Dia berteman dengan Zakheus, membela perempuan yang tertangkap berbuat jinah, mengangkat Simon orang Zelot menjadi salah satu muridNya. Zelot adalah kelompok pemberontak melawan penjajah Romawi. Membela anak-anak yang dianggap warga kelas dua. Membela orang Samaria. Tindakan penyembuhannya juga untuk mengangkat martabat manusia. Akibatnya Dia banyak menuai kritik dan menciptakan permusuhan dengan para pemimpin yang ingin tetap mapan. Tapi Yesus tetap konsisten. Dia terus berjuang bersama rakyat miskin.
Gereja adalah kelanjutan komunitas yang dibangun oleh Yesus. Maka mau tidak mau Gereja harus secara nyata terlibat dalam penderitaan dan aneka masalah kaum miskin. Tidak bisa Gereja hanya menjadi penyeru seperti para nabi, tapi Gereja harus berada di tengah kaum miskin dan berjuang bersama kaum miskin melawan penindasan. Bila Gereja hanya sibuk membenahi tata cara ibadah, lagu-lagu atau gedung tapi tidak tegas berpihak pada kaum miskin, maka Gereja kehilangan semangat awalinya. Gereja menjadi mandul dan tidak mencerminkan kehadiran Allah yang berpihak.
Para nabi dalam Perjanjian Lama mengecam para penguasa yang bertindak tidak adil. Misalnya Amos yang mengecam orang yang memperkaya dirinya sendiri, "Dengarlah firman ini, hai lembu-lembu Basan, yang ada di gunung Samaria, yang memeras orang lemah, yang menginjak orang miskin,” (Am 4:1) atau Yesaya yang mengecam pembuat aturan, “Celakalah mereka yang menentukan ketetapan-ketetapan yang tidak adil, dan mereka yang mengeluarkan keputusan-keputusan kelaliman,” (Yes 10:1). Para nabi menyerukan hukuman Allah yang akan menimpa orang yang berlaku kejam terhadap sesamanya. Gambaran hukuman Allah yang diserukan para nabi sangat mengerikan. Bahkan pembuangan Babel dianggap sebagai hukuman Allah terhadap Israel yang telah berlaku tidak adil dan rajanya tidak mau mendengarkan suara Allah.
Yesus tidak melakukan sama seperti para nabi terdahulu. Dia tidak mengecam para penindas atau mengancam hukuman yang mengerikan, melainkan mengubah sistem yang tidak adil. Bila yang diubah hanya orangnya sedangkan sistem tidak diubah maka penindasan akan terjadi lagi. Lebih jauh lagi Yesus mencabut akar kejahatan yaitu karena orang telah kehilangan kasih kepada Allah dan sesamanya. Hukum-hukum pun diberi pendasaran baru. Dalam Kotbah di bukit Yesus dengan jelas dan tegas memberi nilai baru pada hukum yang telah dimanipulasi. Dia memberi tafsiran baru. “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” (Mat 5:27-28). Disini orang tidak lagi berpatok pada hukum tertulis tapi pada hati nurani. Maka perubahan Yesus sangat mendasar yaitu dari hati nurani manusia. Segala hukum, sistem dan tata aturan ibadah dapat dimanipulasi atau disesuaikan demi kepentingan yang berkuasa. Sedangkan hati nurani tidak dapat dimanipulasi. Maka orang harus jujur. “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” (Mat 5:37)
Kehadiran Yesus bukan saja membongkar sistem dan hukum yang ada, tapi juga menunjukkan keterlibatan Allah dalam masalah manusia. Dia menunjukkan dalam hidupNya yang miskin dan keberpihakkannya pada orang-orang yang ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang. Dia berteman dengan Zakheus, membela perempuan yang tertangkap berbuat jinah, mengangkat Simon orang Zelot menjadi salah satu muridNya. Zelot adalah kelompok pemberontak melawan penjajah Romawi. Membela anak-anak yang dianggap warga kelas dua. Membela orang Samaria. Tindakan penyembuhannya juga untuk mengangkat martabat manusia. Akibatnya Dia banyak menuai kritik dan menciptakan permusuhan dengan para pemimpin yang ingin tetap mapan. Tapi Yesus tetap konsisten. Dia terus berjuang bersama rakyat miskin.
Gereja adalah kelanjutan komunitas yang dibangun oleh Yesus. Maka mau tidak mau Gereja harus secara nyata terlibat dalam penderitaan dan aneka masalah kaum miskin. Tidak bisa Gereja hanya menjadi penyeru seperti para nabi, tapi Gereja harus berada di tengah kaum miskin dan berjuang bersama kaum miskin melawan penindasan. Bila Gereja hanya sibuk membenahi tata cara ibadah, lagu-lagu atau gedung tapi tidak tegas berpihak pada kaum miskin, maka Gereja kehilangan semangat awalinya. Gereja menjadi mandul dan tidak mencerminkan kehadiran Allah yang berpihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar