Teologi secara sederhana dapat diartiakan sebagai ilmu tentang refleksi rasional sistematis mengenai iman. Pemaknaan sederhana tentang teologi menunjukkan adanya 3 unsur dalam teologi yaitu refleksi, rasional dan iman. Refleksi adalah usaha manusia untuk melihat situasi yang dialami atau yang terjadi di sekitarnya dalam terang iman. Rasional adalah usaha manusia untuk mengungkapkan imannya dengan pertimbangan akal budi. Sedangkan iman adalah suatu pengalaman dimana kita menanggapi kabar gembira Allah dan mengakui Allah sebagai pencipta semesta serta mengakui apa yang dikerjakan bagi keselamatan kita.
Para teolog yang terlibat dalam kehidupan masyarakat berusaha merefleksi realitas yang ada dan berusaha membuat sistematisnya. Munculnya teologi pembebasan, teologi Minjung, teologi Dailit, teologi Hitam dan sebagainya disebabkan para teolognya terlibat dan bergulat dengan realitas masyarakat yang hidup dalam kemiskinan, disingkirkan, ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang. Mereka merasa teologi yang ada tidak memberikan jawaban atas aneka masalah yang digulatinya. Maka mereka membangu sebuah konstrukis teologi yang baru. Teologi yang dilihat dari sudut pandang rakyat miskin dan menderita. Mereka bertanya apa yang akan dilakukan Yesus bila menghadapi situasi seperti ini. Mereka membangun harapan-harapan akan pembebasan seperti yang dikehendaki Allah. Mereka berusaha menterjemahkan tindakan Allah bagi manusia dalam situasi seperti ini. Maka meski semua teologi itu melihat dari sudut rakyat miskin tapi ada perbedaan satu dengan yang lain, sebab realitas kemiskinan masyarakatnya yang berbeda. Masalah kemiskinan masyarakat dan budaya masyarakat miskin di Amerika Selatan berbeda dengan India dan Korea. Dengan demikian teologi sangat kontekstual sebab muncul dari masyarakat dan berusaha menanggapi masalah masyarakat setempat.
Menurut DR Joseph Neetilal IMS (Serikat Misionaris India) munculnya teologi Dailit dari masyarakat kasta Avarna, masyarakat diluar keempat kasta. Orang yang paling rendah kedudukannya dalam strata kasta di India. Teologi ini berkembang bukan dari para pemimpin Gereja tapi dari masyarakat. Sebab para pemimpin Gereja di India berasal dari strata kasta atas dan menikmati rasa aman baik secara institusional maupun finansial. Mereka kurang terlibat dalam perjuangan kaum tertindas sehingga tidak mampu merefleksikan pengalaman penderitaan dan perjuangan masyarakat. Kotbah-kotbah mereka hanya menyatakan ada kemiskinan tapi pembebasan kaum miskin tidak menjadi pilihan utamanya. Pembelaan pada kaum miskin hanya dapat muncul bila seseorang mau terlibat secara penuh dalam kehidupan kaum miskin.
Kemiskinan ada dimana-mana dan dalam aneka bentuk. Indonesia pun mempunyai banyak realitas kemiskinan yang berbeda. Kemiskinan di Jawa berbeda dengan di Nusa Tenggara, Papua, Kalimantan dan sebagainya. Setiap daerah mempunyai bentuk kemiskinan yang berbeda meski intinya sama dimana manusia diperlakukan tidak adil oleh sesamanya. Ada manusia yang merasa dirinya memiliki kekuasaan lebih sehingga dapat merampas tanah, menindas sesama, memanipulasi dan membeli hukum dan aparat keamanan demi kepentingannya dan sebagainya. Untuk itu perlu digali teologi-teologi lokal. Untuk memunculkan teologi Papua, Kalimantan atau sebagianya, perlu ada komitmen dari orang-orang untuk terlibat dan sungguh berjuang bersama dan untuk rakyat miskin. Membuat metode-metode pembebasan dan mengorganisir rakyat.
Keterlibatan dalam masyarakat miskin bukanlah sebuah pilihan yang mudah. Orang akan dicurigai dan dicap sebagai orang kiri, revolusioner atau subversif. Dia akan berhadapan dengan aparat negara dan Gereja sendiri. Gereja yang sudah menikmati keamanan dan kenyamanan dapat merasa terganggu, sebab kuatir apa yang dinikmati saat ini akan hilang. Yesus memilih terlibat dalam perjuangan rakyat miskin daripada menjadi raja atau berkompromi dengan penguasa agama dan pemerintahan yang tidak adil. Sebuah pilihan yang membawaNya ke bukit Golgota.
Para teolog yang terlibat dalam kehidupan masyarakat berusaha merefleksi realitas yang ada dan berusaha membuat sistematisnya. Munculnya teologi pembebasan, teologi Minjung, teologi Dailit, teologi Hitam dan sebagainya disebabkan para teolognya terlibat dan bergulat dengan realitas masyarakat yang hidup dalam kemiskinan, disingkirkan, ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang. Mereka merasa teologi yang ada tidak memberikan jawaban atas aneka masalah yang digulatinya. Maka mereka membangu sebuah konstrukis teologi yang baru. Teologi yang dilihat dari sudut pandang rakyat miskin dan menderita. Mereka bertanya apa yang akan dilakukan Yesus bila menghadapi situasi seperti ini. Mereka membangun harapan-harapan akan pembebasan seperti yang dikehendaki Allah. Mereka berusaha menterjemahkan tindakan Allah bagi manusia dalam situasi seperti ini. Maka meski semua teologi itu melihat dari sudut rakyat miskin tapi ada perbedaan satu dengan yang lain, sebab realitas kemiskinan masyarakatnya yang berbeda. Masalah kemiskinan masyarakat dan budaya masyarakat miskin di Amerika Selatan berbeda dengan India dan Korea. Dengan demikian teologi sangat kontekstual sebab muncul dari masyarakat dan berusaha menanggapi masalah masyarakat setempat.
Menurut DR Joseph Neetilal IMS (Serikat Misionaris India) munculnya teologi Dailit dari masyarakat kasta Avarna, masyarakat diluar keempat kasta. Orang yang paling rendah kedudukannya dalam strata kasta di India. Teologi ini berkembang bukan dari para pemimpin Gereja tapi dari masyarakat. Sebab para pemimpin Gereja di India berasal dari strata kasta atas dan menikmati rasa aman baik secara institusional maupun finansial. Mereka kurang terlibat dalam perjuangan kaum tertindas sehingga tidak mampu merefleksikan pengalaman penderitaan dan perjuangan masyarakat. Kotbah-kotbah mereka hanya menyatakan ada kemiskinan tapi pembebasan kaum miskin tidak menjadi pilihan utamanya. Pembelaan pada kaum miskin hanya dapat muncul bila seseorang mau terlibat secara penuh dalam kehidupan kaum miskin.
Kemiskinan ada dimana-mana dan dalam aneka bentuk. Indonesia pun mempunyai banyak realitas kemiskinan yang berbeda. Kemiskinan di Jawa berbeda dengan di Nusa Tenggara, Papua, Kalimantan dan sebagainya. Setiap daerah mempunyai bentuk kemiskinan yang berbeda meski intinya sama dimana manusia diperlakukan tidak adil oleh sesamanya. Ada manusia yang merasa dirinya memiliki kekuasaan lebih sehingga dapat merampas tanah, menindas sesama, memanipulasi dan membeli hukum dan aparat keamanan demi kepentingannya dan sebagainya. Untuk itu perlu digali teologi-teologi lokal. Untuk memunculkan teologi Papua, Kalimantan atau sebagianya, perlu ada komitmen dari orang-orang untuk terlibat dan sungguh berjuang bersama dan untuk rakyat miskin. Membuat metode-metode pembebasan dan mengorganisir rakyat.
Keterlibatan dalam masyarakat miskin bukanlah sebuah pilihan yang mudah. Orang akan dicurigai dan dicap sebagai orang kiri, revolusioner atau subversif. Dia akan berhadapan dengan aparat negara dan Gereja sendiri. Gereja yang sudah menikmati keamanan dan kenyamanan dapat merasa terganggu, sebab kuatir apa yang dinikmati saat ini akan hilang. Yesus memilih terlibat dalam perjuangan rakyat miskin daripada menjadi raja atau berkompromi dengan penguasa agama dan pemerintahan yang tidak adil. Sebuah pilihan yang membawaNya ke bukit Golgota.
Semoga Romo dikuatkan dalam pilihan panggilan ini, saya yakin sebagai orang beriman yang mau mendengarkan suara Tuhan, apa yang dipilih dan dijalani adalah juga pilihan Tuhan. Apalagi berada ditengah kaum "miskin." Tuhan pasti membri kekuatan dan tuntunan, Dia tdk pernah meninggalkan ank yang dikasihiNya berjuang sndri. Meski pd akhrnya hrs ke Golgota, itu sebuah pilihan yg tepat! berpihak dan memilih Allah. Selamat berjuang Romo, sy bantu doa.
BalasHapus