Kisah pencucian kaki oleh Yesus kepada para muridNya senantiasa diulang setiap tahun dalam liturgi Kamis Putih. Hal yang sering diungkapkan dan dibahas dalam beberapa buku adalah tentang kerendahan hati seorang guru yang mencuci kaki para muridnya. Seorang guru yang mengosongkan dirinya dan melepaskan statusnya untuk menjadi hamba. Tapi dalam kasih ini ada hal yang sering dilupakan yaitu tentang kasih yang tidak berkesudahan. Yesus mengasihi semua muridNya sampai akhir hidupNya. “Ia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya.” (Yoh 13:1). Semua murid termasuk Yudas.
Begitu besar kasih Yesus, maka meski Dia tahu bahwa Yudas akan menghianatiNya, Dia tetap membasuh kaki Yudas. Bila kita membayangkan situasi itu, betapa pedih hati Yesus. Sebentar lagi Yudas akan menyerahkan DiriNya kepada para imam dan tua-tua Yahudi, sehingga Dia akan ditangkap dan dihukum mati setelah menjalani penderitaan. Bila Yesus tidak tahu siapa yang akan mengkhianati dan apa yang akan dijalaniNya, mungkin hal itu tidak akan begitu tragis. Tapi sejak jauh hari Dia sudah tahu bahwa Dia akan menjalani kesengsaraan dan mati yang mengerikan. Dia pun tahu siapa yang akan menyerahkan DiriNya. Maka pencucian kaki Yudas merupakan pembuktian cinta Allah yang sangat besar kepada semua orang tanpa pandang bulu. “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Mat 5:45). Realisasi tentang ajaran untuk mengasihi musuh dan tidak berusaha membalas dendam.
Sering kali kita bila tidak suka pada seseorang, maka kita akan memperlakukan orang itu secara berbeda. Tidak jarang ada orang tua yang memperlakukan anaknya secara berbeda. Satu anak dimanjakan sedangkan yang lain tidak dihiraukan. Padahal mereka adalah anak-anaknya. Mereka tidak berkhianat seperti Yudas. Hanya mungkin mereka kurang taat atau memilih hidup yang tidak sesuai dengan pandangan orang tua. Demikian pula dalam menjalani hubungan dengan orang lain. Kita sering kali dipengaruhi rasa suka dan tidak suka. Bila kita suka pada seseorang maka semua akan kita berikan dengan suka cita. Sebaliknya bila tidak suka maka kita akan pelit padanya.
Untuk melakukan kasih seperti Yesus dibutuhkan rasa cinta dan pengendalian diri yang sempurna. Dalam Perjanjian Lama orang yang mampu mengendalikan diri secara sempurna adalah Abraham. Dia sudah lama menunggu seorang anak. Ketika tua dia baru mendapat anak dari istrinya. Tapi suatu hari Tuhan memerintahkan agar dia mengorbankan Ishak. “Firman-Nya: "Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.” (Kej 22:2). Dalam ayat itu Tuhan secara jelas menyebutkan posisi Abraham tentang Ishak, yaitu anak tunggal yang dikasihi. Bagaimana perasaan Abraham ketika berjalan bersama Ishak berdua mendaki gunung? Mungkin dia sengaja meninggalkan hambanya agar dapat berdua bersama Ishak untuk menikmati saat-saat akhirnya. Bagaimana perasaan Abraham ketika Ishak bertanya dimana domba yang akan dikurbankan setelah melihat semua persiapan selesai? Andai kita menjadi Abraham apakah yang akan kita lakukan?
Kasih Abraham kepada Allah jauh lebih besar daripada kasihnya kepada Ishak. Maka meski dia sangat mencintai Ishak, tapi dia rela menyerahkan Ishak sebagai kurban. Demikian pula kasih Yesus kepada murid-muridnya sangat besar sehingga Dia rela menjadi hamba bagi musuhNya. Rasa kasih yang besar membuat Abraham dan Yesus mampu mengendalikan diri. Mereka melakukan dalam diam meski hati bergolak diliputi kecemasan dan kepedihan. Kita pun perlu belajar untuk mengendalikan diri sehingga tetap dapat melakukan segala sesuatu dengan tenang meski hati bergolak. Hal ini selain membutuhkan cinta yang besar juga kedewasaan dan kematangan seseorang.
Begitu besar kasih Yesus, maka meski Dia tahu bahwa Yudas akan menghianatiNya, Dia tetap membasuh kaki Yudas. Bila kita membayangkan situasi itu, betapa pedih hati Yesus. Sebentar lagi Yudas akan menyerahkan DiriNya kepada para imam dan tua-tua Yahudi, sehingga Dia akan ditangkap dan dihukum mati setelah menjalani penderitaan. Bila Yesus tidak tahu siapa yang akan mengkhianati dan apa yang akan dijalaniNya, mungkin hal itu tidak akan begitu tragis. Tapi sejak jauh hari Dia sudah tahu bahwa Dia akan menjalani kesengsaraan dan mati yang mengerikan. Dia pun tahu siapa yang akan menyerahkan DiriNya. Maka pencucian kaki Yudas merupakan pembuktian cinta Allah yang sangat besar kepada semua orang tanpa pandang bulu. “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Mat 5:45). Realisasi tentang ajaran untuk mengasihi musuh dan tidak berusaha membalas dendam.
Sering kali kita bila tidak suka pada seseorang, maka kita akan memperlakukan orang itu secara berbeda. Tidak jarang ada orang tua yang memperlakukan anaknya secara berbeda. Satu anak dimanjakan sedangkan yang lain tidak dihiraukan. Padahal mereka adalah anak-anaknya. Mereka tidak berkhianat seperti Yudas. Hanya mungkin mereka kurang taat atau memilih hidup yang tidak sesuai dengan pandangan orang tua. Demikian pula dalam menjalani hubungan dengan orang lain. Kita sering kali dipengaruhi rasa suka dan tidak suka. Bila kita suka pada seseorang maka semua akan kita berikan dengan suka cita. Sebaliknya bila tidak suka maka kita akan pelit padanya.
Untuk melakukan kasih seperti Yesus dibutuhkan rasa cinta dan pengendalian diri yang sempurna. Dalam Perjanjian Lama orang yang mampu mengendalikan diri secara sempurna adalah Abraham. Dia sudah lama menunggu seorang anak. Ketika tua dia baru mendapat anak dari istrinya. Tapi suatu hari Tuhan memerintahkan agar dia mengorbankan Ishak. “Firman-Nya: "Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.” (Kej 22:2). Dalam ayat itu Tuhan secara jelas menyebutkan posisi Abraham tentang Ishak, yaitu anak tunggal yang dikasihi. Bagaimana perasaan Abraham ketika berjalan bersama Ishak berdua mendaki gunung? Mungkin dia sengaja meninggalkan hambanya agar dapat berdua bersama Ishak untuk menikmati saat-saat akhirnya. Bagaimana perasaan Abraham ketika Ishak bertanya dimana domba yang akan dikurbankan setelah melihat semua persiapan selesai? Andai kita menjadi Abraham apakah yang akan kita lakukan?
Kasih Abraham kepada Allah jauh lebih besar daripada kasihnya kepada Ishak. Maka meski dia sangat mencintai Ishak, tapi dia rela menyerahkan Ishak sebagai kurban. Demikian pula kasih Yesus kepada murid-muridnya sangat besar sehingga Dia rela menjadi hamba bagi musuhNya. Rasa kasih yang besar membuat Abraham dan Yesus mampu mengendalikan diri. Mereka melakukan dalam diam meski hati bergolak diliputi kecemasan dan kepedihan. Kita pun perlu belajar untuk mengendalikan diri sehingga tetap dapat melakukan segala sesuatu dengan tenang meski hati bergolak. Hal ini selain membutuhkan cinta yang besar juga kedewasaan dan kematangan seseorang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar