Siang itu warga Renokenongo yang tinggal di Pasar Baru Porong mengadakan aksi di jalanan Porong. Mereka menuntut realisasi ganti rugi yang dijanjikan pihak Lapindo. Aku sudah lama terlibat dalam pendampingan kurban lumpur. Pada akhir pertemuan malam itu aku diberitahu oleh seorang warga agar hati-hati sebab namaku dan nama seorang teman sudah dicatat dan diawasi oleh pihak aparat. Beberapa aparat sudah mengenal wajahku, tapi belum mengenal wajah temanku.
Aksi dimulai pukul 9 dan dibuka dengan iring-iringan memakamkan seorang warga yang meninggal di pengungsian. Sejak pagi aparat sudah mengepung Pasar Baru Porong tempat para pengungsi kurban lumpur. Ratusan aparat keamanan dan intel menyebar di warung-warung makan dan setiap sudut pasar. Setelah pemakanan aksi dilanjutkan dengan menutup sebagian jalan. Ketika sedang berada di tengah aksi masa ada seorang berbadan gemuk datang menghampiriku. Dalam pembicaraan beberapa kali dia menyebut namaku. Aku semula berpikir dia adalah salah satu warga kurban lumpur. Tapi kemudian dia memegang tanganku dan membawaku ke asrama brimob yang tidak jauh dari sana. Ternyata dia seorang intel. Dia tanya dimana temanku. Aku jawab mungkin sedang memotret, padahal temanku berdiri hanya tiga langkah dariku.
Di asrama brimob aku berhadapan dengan beberapa aparat yang dipimpin kapolres. Mereka menegurku sebab terlibat dalam aksi perlawanan rakyat Porong. Menurut mereka tempatku bukan disini. Aku mengatakan bahwa aku akan berada di tempat orang tertindas dan miskin. Seorang aparat lalu menyebutku imam kiri, komunis. Aku terhenyak mengapa aku dikatakan komunis? Mengapa orang yang berjuang bersama kuam miskin disebut komunis? Setelah 30 menit ditahan untuk mendengarkan ceramah dan perintah agar menyingkir dari tempat ini, aku dilepas oleh mereka. Aku pun kembali ke tengah masa aksi dan terus diawasi oleh intel.
Bagi banyak orang keterlibatan seorang imam dalam sebuah gerakan perjuangan rakyat miskin dianggap sebagai salah tempat. Mereka berpendapat bahwa tempat seorang imam adalah di dalam perayaan sakramen. Bukan di tempat demonstrasi. Pendapat ini bukan hanya muncul di antara orang non Katolik tapi juga di tengah umat Katolik. Banyak imam dan umat Katolik yang tidak setuju bila imam menyerukan ketidak adilan, penindasan, dan perjuangan rakyat miskin. Imam hanya boleh berbicara soal kesabaran, kasih, dan sebagainya. Apakah Yesus mengajarkan seperti itu?
Dom Helder Camara (7 Februari 1909-27 Agustus 1999) uskup Olinda dan Recife, Brasil menulis dalam Church and Colonialism, bila dia berkotbah dihadapan para buruh dalam misa yang diselengarakan oleh orang kaya agar buruh taat pada atasan, sabar dan menunaikan tugasnya untuk para majikan, maka dia akan disebut uskup yang saleh. Dia pun akan diundang untuk misa disana lagi. Tapi bila dia berkotbah agar para tuan tanah mengedepankan hak-hak buruh, maka dia akan dikatakan sebagai uskup progresif, revolusioner, komunis. Tulisan ini merupakan kritik keras bahwa Gereja pun sering terjebak oleh kekuasaan yang tidak adil, sehingga menindas kaum miskin.
Yesus datang ke dunia untuk berpihak pada kaum marginal. Orang yang disingkirkan dan kaum miskin. KeberpihakanNya pada kaum miskin membuat Dia menolak untuk menjadi penguasa. “Karena Yesus tahu, bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia menyingkir pula ke gunung, seorang diri.” (Yoh 6:15). Dia pun akhirnya harus berhadapan dengan penguasa dengan tuduhan menghasut rakyat. “Di situ mereka mulai menuduh Dia, katanya: "Telah kedapatan oleh kami, bahwa orang ini menyesatkan bangsa kami, dan melarang membayar pajak kepada Kaisar.” (Luk 23:2). Bila Yesus tegas mengambil posisi bagaimana dengan Gereja terutama para imamNya? Apakah ingin menjadi imam saleh atau berani menjadi imam yang dicap sebagai progresif, revolusioner dan komunis?
Aksi dimulai pukul 9 dan dibuka dengan iring-iringan memakamkan seorang warga yang meninggal di pengungsian. Sejak pagi aparat sudah mengepung Pasar Baru Porong tempat para pengungsi kurban lumpur. Ratusan aparat keamanan dan intel menyebar di warung-warung makan dan setiap sudut pasar. Setelah pemakanan aksi dilanjutkan dengan menutup sebagian jalan. Ketika sedang berada di tengah aksi masa ada seorang berbadan gemuk datang menghampiriku. Dalam pembicaraan beberapa kali dia menyebut namaku. Aku semula berpikir dia adalah salah satu warga kurban lumpur. Tapi kemudian dia memegang tanganku dan membawaku ke asrama brimob yang tidak jauh dari sana. Ternyata dia seorang intel. Dia tanya dimana temanku. Aku jawab mungkin sedang memotret, padahal temanku berdiri hanya tiga langkah dariku.
Di asrama brimob aku berhadapan dengan beberapa aparat yang dipimpin kapolres. Mereka menegurku sebab terlibat dalam aksi perlawanan rakyat Porong. Menurut mereka tempatku bukan disini. Aku mengatakan bahwa aku akan berada di tempat orang tertindas dan miskin. Seorang aparat lalu menyebutku imam kiri, komunis. Aku terhenyak mengapa aku dikatakan komunis? Mengapa orang yang berjuang bersama kuam miskin disebut komunis? Setelah 30 menit ditahan untuk mendengarkan ceramah dan perintah agar menyingkir dari tempat ini, aku dilepas oleh mereka. Aku pun kembali ke tengah masa aksi dan terus diawasi oleh intel.
Bagi banyak orang keterlibatan seorang imam dalam sebuah gerakan perjuangan rakyat miskin dianggap sebagai salah tempat. Mereka berpendapat bahwa tempat seorang imam adalah di dalam perayaan sakramen. Bukan di tempat demonstrasi. Pendapat ini bukan hanya muncul di antara orang non Katolik tapi juga di tengah umat Katolik. Banyak imam dan umat Katolik yang tidak setuju bila imam menyerukan ketidak adilan, penindasan, dan perjuangan rakyat miskin. Imam hanya boleh berbicara soal kesabaran, kasih, dan sebagainya. Apakah Yesus mengajarkan seperti itu?
Dom Helder Camara (7 Februari 1909-27 Agustus 1999) uskup Olinda dan Recife, Brasil menulis dalam Church and Colonialism, bila dia berkotbah dihadapan para buruh dalam misa yang diselengarakan oleh orang kaya agar buruh taat pada atasan, sabar dan menunaikan tugasnya untuk para majikan, maka dia akan disebut uskup yang saleh. Dia pun akan diundang untuk misa disana lagi. Tapi bila dia berkotbah agar para tuan tanah mengedepankan hak-hak buruh, maka dia akan dikatakan sebagai uskup progresif, revolusioner, komunis. Tulisan ini merupakan kritik keras bahwa Gereja pun sering terjebak oleh kekuasaan yang tidak adil, sehingga menindas kaum miskin.
Yesus datang ke dunia untuk berpihak pada kaum marginal. Orang yang disingkirkan dan kaum miskin. KeberpihakanNya pada kaum miskin membuat Dia menolak untuk menjadi penguasa. “Karena Yesus tahu, bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia menyingkir pula ke gunung, seorang diri.” (Yoh 6:15). Dia pun akhirnya harus berhadapan dengan penguasa dengan tuduhan menghasut rakyat. “Di situ mereka mulai menuduh Dia, katanya: "Telah kedapatan oleh kami, bahwa orang ini menyesatkan bangsa kami, dan melarang membayar pajak kepada Kaisar.” (Luk 23:2). Bila Yesus tegas mengambil posisi bagaimana dengan Gereja terutama para imamNya? Apakah ingin menjadi imam saleh atau berani menjadi imam yang dicap sebagai progresif, revolusioner dan komunis?
Makanya belum ada martir dari Indo ya Romo? banyak yang sungkan, takut, mau aman....atau ada pertimbangan2 lain, demi kepentingan bnyk org? Semoga Tuhan memberkati. Salam & doa
BalasHapus