Selasa, 27 Oktober 2009

SETELAH GEMPA


Seorang bapak renta duduk di dekat sebuah reruntuhan. Tubuhnya kurus dan kurang terawat. Rambutnya yang sudah memutih dan tipis menjadi atap wajahnya yang penuh keriput. Lengannya seperti batang pohon tua. Gelap dan kering. Menyangga sebungkus nasi. Perlahan namun mantap jemari tangan kanannya memasukan nasi dan sedikit lauk ke dalam mulut. Gigi yang tinggal beberapa dipaksa untuk menghancurkan setiap makanan yang hendak ditelannya. Dia menikmati setiap suap yang dikunyahnya.
“Kau dapat lauk apa?” tanya seseorang. Bapak itu menoleh sejenak. Di sisinya berdiri seorang perempuan yang tidak kalah rentanya. Perempuan itu lalu duduk di atas sebuah koran bekas. Berhimpitan dengan bapak itu.
“Tidak penting dapat lauk apa,” jawab lelaki tua itu sambil terus mengunyah. “Yang panting kita hari ini dapat makan. Tidak perlu mencari lagi.”
“Hem..” jawab perempuan itu. Mulutnya sudah penuh nasi. Mereka tidak peduli akan orang yang lalu lalang di sekitarnya. Seolah dunia berhenti pada setiap kunyahan.

Seleret sinar lampu blitz menerpa wajah sepasang orang renta itu. Mereka terkejut. Mulut mereka berhenti mengunyah. Mata mereka menatap sumber sinar itu. Beberapa meter dari tempat mereka duduk tampak seorang anak muda sedang jongkok. Di lehernya terkalung sebuah kamera dengan lensa panjang dan besar. Sebuah tas ransel besar menempel di punggungnya. Dia tersenyum ramah.

“Selamat siang,” sapanya ramah
“Siang..” jawab lelaki tua itu sambil berusaha menelan makanan yang tersisa di mulut.
“Boleh saya duduk disini?” tanya pemuda itu lagi
“Silakan nak,” jawab perempuan tua. Dia berusaha menyingkirkan beberapa sampah yang berserak di dekatnya duduk. Anak muda itu duduk. Melihat seonggok sisa nasi yang masih tersisa di bungkusnya. Nasi berwarna agak kemerahan karena tercampur sambal, sayur dan potongan daging ayam.

“Perkenalkan saya pak,” anak muda itu mengulurkan tangannya.
“Waduh tangan bapak kotor,” jawab lelaki itu agak malu. Ada beberapa sisa nasi dan sambal yang menempel di jemarinya.
“Tidak apa-apa pak,” kata pemuda itu. Dia menjabat jemari yang penuh sisa makanan. Lalu dia menjabat jemari tangan perempuan tua yang sama kotornya. “Saya Tio dari Jakarta.”
“Wah jauh sekali.”
“Ah tidak kok,”
“Sudah lama disini?”
“Belum baru beberapa hari sejak gempa terjadi.”
“O menolong kurban gempa?”
“Ya begitulah pak.” Jawab Tio. Sebersit nada bangga tersirat. Dia membolos kuliah untuk terlibat menjadi relawan membantu para kurban gempa yang menghancurkan kota dan beberapa desa yang ada di sekitar kota itu.
“Wah terima kasih sudah jauh-jauh kemari untuk membantu kurban disini.” kata bapak itu. Sinar kagum dan bangga memancar dari kedua bola matanya yang buram akibat katarak dan dimakan umur.
“Ah biasa saja pak,” jawab pemuda itu sambil tersenyum. Sebuah rasa bangga yang akan menyeruak dari wajahnya berusaha ditekan dalam hati yang terdalam. “Saya hanya ingin memberikan apa yang saya miliki kepada orang yang sedang menderita.”

Lelaki dan perempuan itu kembali menikmati nasi bungkus yang diterima dari posko bencana. Bagi banyak orang nasi dari posko adalah nasi darurat. Tapi bagi mereka berdua nasi itu sudah sangat mewah dan jarang mereka nikmati dalam hidup sehari-hari. Mereka menikmati setiap suap nasi yang masuk dalam mulut. Keringat menetes dari dahi yang keriput akibat pedasnya sambal yang diaduk dengan nasi.

“Rumah bapak dan ibu juga hancur?” tanya Tio berusaha membuka percakapan lagi. Kedua orang itu sejenak saling memandang. Hampir serentak mereka menggelengkan kepalanya perlahan. Tio memandang penuh heran.
“Syukurlah kalau begitu,” sambungnya. “Rumah bapak dan ibu di daerah mana?”
“Kami tidak punya rumah,” jawab bapak itu lirih. Terbesit sebuah senyum malu.
“Tidak punya rumah?”
“Ya,”
“Apa hancur terkena gempa?” Tio berusaha menegaskan.
“Kami memang sudah lama tidak punya rumah lagi,” jawab ibu itu. Matanya yang redup seperti lampu kehabisan minyak menatap Tio.
“Lalu,”
“Kami ini sudah lama jadi pengemis di kota ini.”
“Ah…”
“Rumah kami beberapa tahun lalu sudah dijual dan uangnya sudah habis untuk biaya berobat ibu,” kata bapak itu. Matanya mengarah ke arah perempuan tua yang ada di sisinya. Perempuan itu menundukkan kepala. Suapan terakhir yang hendak masuk mulutnya terhenti. Terlintas sebuah rumah sederhana yang terpaksa dijual untuk biaya operasi tumor di rahimnya.
“Kok tidak tinggal bersama anak?”
Bapak itu menghela nafas panjang. Dengan lemah mereka berdua menggelengkan kepala kembali. Mata mereka menatap jauh ke arah orang yang sibuk lalu lalang. “Satu anak tapi satu menantu.” Jawab bapak itu lirih. “Selama kami masih bisa hidup sendiri maka kami tidak ingin merepotkan anak,”

Sebuah kebisuan menggantung diantara mereka. Tio menatap mereka. Teringat akan papa dan mamanya di rumah. Selama ini dia kerap menentang mereka. Ke pergiannya ke tempat bencana ini juga karena dia merasa bosan di rumah. Dia ingin lari dari rumah dan kedua orang tuanya. Ada sebuah pedang menyayat hatinya. Dia bangkit berdiri.

“Saya ke tempat teman-teman dulu pak,” katanya dingin. Lelaki tua itu menatap sambil tersenyum ramah. Mereka berdua menganggukkan kepalanya. Tio merogoh saku celananya. Dia mengeluarkan selembar uang seratus ribu.
“Ini bu untuk beli minum nanti.”
“Wah kok merepotkan,” sahut perempuan tua itu. Matanya berbinar. Sering dia melihat lembaran uang itu tapi baru beberapa kali dia mampu menyentuhnya. Kini uang itu ada dalam genggamannya. Dengan hati-hati uang itu diselipkan di sela harta bendanya yang ada dalam sebuah tas kain yang sudah usang. Tio berlalu. Dia memotret beberapa obyek lainnya.

“Mengapa kita sekarang kita menjadi orang yang penting ya bu?” tanya lelaki tua itu. Matanya menatap ke arah punggung Tio dan orang yang berlalu lalang.
“Maksud bapak?” tanya perempuan tua itu sambil menatap tas kainnya. Dia tidak ingin melepaskan pandangannya dari lembaran uang pemberian Tio.

Lelaki itu terdiam. Setiap hari dia berjalan dari rumah ke rumah atau berdiri di tepi jalan menanti uang receh yang jatuh di telapak tangannya yang penuh keriput. Selama ini banyak orang menjauh bahkan mengusirnya. Tapi gempa membuat semua berubah. Dia diberi makan, pakaian dan kemarin diajak untuk berobat. Semua gratis! Dia tidak perlu lagi mengemis untuk mendapatkan uang receh. Dia tidak takut kelaparan sebab di posko ada makanan. Saat ini tanpa bersusah payah pun dia dapat satu lembar uang seratus ribu. Diajak berbicara layaknya manusia terhormat. Difoto oleh seorang pemuda dari ibu kota. Suatu yang tidak pernah lagi dialami selama melewati tahun-tahun sebagai seorang pengemis. Semua kemewahan itu tidak akan diperolehnya bila tidak ada gempa yang merobohkan sebagian besar bangunan kota ini.

Minggu, 25 Oktober 2009

SUATU HARI MINGGU DI SUATU TEMPAT

Seorang pria gagah berdiri di balik mimbar. Pakaian kebesarannya menenggelamkan tubuhnya yang tidak terlalu tinggi. Tapi pakaian itu adalah lambang statusnya yang harus dikenakan ketika dia ada di tempat itu. Dihadapannya dalam bangku-bangku kayu jati yang panjang-panjang, duduk rapi orang tanpa batasan umur. Ada empat lajur bangku panjang yang berderet ke memanjang dari pintu masuk sampai tempat pria itu berdiri. Hampir semua bangku terisi penuh.

“Saudara-saudara terkasih,” katanya lantang di depan pengeras suara, “Dalam Injil dikisahkan Yesus mengkritik orang Farisi yang mampu mengetahui tanda alam tapi tidak mampu mengetahui tanda jaman. Apakah tanda-tanda jaman itu?..”
Tiba-tiba dari deretan bangku tengah terdengar tulit..tulit…tulit… Suara itu tidak begitu keras tapi cukup bagi banyak orang untuk menolehkan kepala. Mata mereka bergerak mencari sumber suara itu. Daya pengaruh suara itu lebih kuat dari pada suara keras pria yang ada di belakang mimbar.
“Siapa sih yang tidak mematikan HP?” gerutu lirih seorang pemudi yang duduk beberapa baris di belakang pemilik HP yang bunyi. Wajah pemudi itu tampak cemberut. Sebuah rasa kesal tersirat.
“Udah biar aja. Kamu dengarkan aja kotbahnya.” Jawab seorang pemuda yang duduk di sebelahnya. Dia merapatkan tubuhnya ke arah tubuh si pemudi. Udara panas yang menggambang di ruang itu tidak menjadi penghalang untuk duduk berdempetan, meski masih ada sela yang cukup lebar dengan orang lain yang duduk sebangku dengannya.
“Sungguh menganggu!” sambung pemudi itu lirih dalam nada jengkel.
“Itulah tanda-tanda jaman.” Bisik pemuda itu. Dia menatap mesra kepada pemudi itu. “Orang sudah sangat tergantung dan melekat pada HP. Kamu juga kemana-mana selalu bawa HP.” Sebuah senyum menghiasi wajahnya.
“Boleh aja sih orang bawa HP tapi kan di pintu sudah ada tanda agar HP dimatikan.” Jawab pemudi itu. “Sebetulnya tanpa diberi tanda di pintu pun orang harusnya sudah tahu bahwa dia masuk ke gereja. Dia mau berdoa.”
“Ah tanda bisa saja ditempatkan dimana-mana, tapi apakah orang menangkap tanda?”
“Harusnya nangkap dong. Anak kecil aja tahu.”
“Masalah bukan orang tahu dan tidak tahu.”
“Lalu apa?” tanya pemudi itu. Matanya menatap tajam kepada pemuda yang wajahnya sangat dekat dengan wajahnya.
“Masalahnya orang udah terlekat itu saja.” Pemuda itu membetulkan letak duduknya. Tubuhnya agak dibungkukkan agar suaranya tidak menganggu seorang ibu yang duduk di sebelahnya. Mereka terdiam.

“Orang harus mampu menangkap tanda jaman.” Kata pria di balik mimbar dengan suara lantang. “Bila kita paham akan tanda jaman maka kita bisa memahami akan situasi jaman ini. Kita dapat mempersiapkan diri kita masing-masing. Tidak terjebak dengan tawaran jaman yang bisa menyesatkan dan melumpuhkan iman kita, melainkan kita bisa memperkuat diri kita sendiri dengan semakin beriman.”
“Tuh dengar,” bisik pemuda itu membuka percakapan kembali, “HP bisa merupakan sarana melumpuhkan iman kita.”
“Ah terlalu tinggi.” Jawab pemudi itu sinis. Bibirnya yang kecil mencibir.
“Eh itu romo yang bilang lho,”
“HP kalau digunakan dengan baik tidak akan melumpuhkan iman.” Sahut pemudi itu. “Bahkan bisa menjadi sarana menumbuhkan iman. Kamu kan sering aku kirimi ayat-ayat yang berguna bukan?” Pemuda itu menganggukkan kepalanya. “Semua itu tergantung dari pemakainya saja.” Lanjut pemudi itu penuh semangat berusaha menyaingi kotbah pria yang berdiri di balik mimbar.
“Tapi kalau kita jujur,” bisik pemuda itu, “Berapa persen sih HP itu untuk menumbuhkan iman dan berapa persen yang dapat menggoyahkan iman?”
“Ya kamu hitung sendiri saja,” sahut pemudi itu. “Apa kamu pernah menghitung?”
“Belum,” jawab pemuda itu sambil menggelengkan kepalanya.
“Kalau kamu sih pasti hanya untuk SMS cewek-cewek lain ya?” kata pemudi itu ketus.
“Ah kamu bisa aja,” jawab pemuda itu. “Cewek yang aku SMS hanya kamu kok,” rayu pemuda itu sambil tersenyum mesra.
“Omong kosong!”
“Sungguh!”
“Siapa cewek kemarin yang kirim SMS mesra?”
“Ah hanya cewek iseng kok,” sahut pemuda itu. Dia menatap ke arah pemudi. “Dia memang suka bergurau.”
“Bohong!”
“Sungguh.”
“Aku tidak percaya ada cewek mengirim SMS mesra hanya sekedar guyon.”
“Nanti kamu kukenalkan dengannya.”
“Nggak mau!” jawab pemudi itu dengan wajah cemberut.
“Dia teman SMA,” jawab pemuda itu lirih. Tubuhnya semakin dirapatkan ke pemudi di sebelahnya.
“Aku nggak tanya siapa dia, tapi pasti ada banyak SMS seperti itu di HPmu yang tidak aku ketahui.”
“Tidak! Percayalah.”
“Bohong!”
“Aku hanya kirim SMS mesra ke kamu seorang,” kata pemuda itu penuh rayu.
“Bagaimana aku tahu ketika kamu tidak bersamaku.”
“Percaya saja padaku.”
“Huh..”
“Aku hanya mencintai kamu,” kata pemuda itu mesra. Dia menggenggam jemari pemudi di sebelahnya. Pemudi itu segera menarik jemarinya dari genggaman pemuda itu.
“Dilihat orang tuh!” kata pemudi itu dengan wajah merona merah. Sikunya menyodok pinggang pemuda di sebelahnya yang tersenyum bahagia.

Seorang ibu yang duduk di sebelah pemuda itu batuk-batuk kecil. Dia menatap mereka dengan wajah yang masam. Kedua kaum muda itu pun menatap ke arah ibu itu. Sejenak mereka saling memandang. Pemuda itu tersenyum kecil ke arah ibu itu.

“Kalian sama mengganggunya dengan suara HP,” bisik ibu itu lirih sambil memalingkan wajahnya. Dia kembali mengarahkan wajahnya ke arah depan tempat pria itu masih berdiri di balik mimbar. Kedua anak muda itu hanya saling menatap.

“Saudara-saudara terkasih,” kata pria dibalik mimbar lantang, “Memang kita tidak akan mampu melawan segala perkembangan jaman. Atau kita menolak segala sarana tehnologi yang ada saat ini. Kita akan menjadi orang terkucil dari dunia. Kita akan menjadi orang aneh di tengah masyarakat. Tapi kita dapat menggunakan segala sarana tehnologi untuk keselamatan dan kesejahteraan bersama. Amin.” Pria dibalik mimbar menyudahi kotbahnya. Dia lalu berjalan menuju meja besar yang berada di tengah.

Deretan manusia yang duduk di bangku serentak berdiri ketika pria di balik meja besar mengajak mereka untuk berdiri. Kedua anak muda itu pun turut berdiri seperti yang lain. Semua orang yang datang ke tempat ini mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk memuji dan memuliakan Tuhan pada hari Tuhan. Tapi apakah tujuan itu terwujud?

Rabu, 21 Oktober 2009

KECOAK DI KAMAR MANDI


Seekor kecoak berlarian di kamar mandi. Sebentar berhenti lalu bergerak lagi dengan gesitnya. Menyusup ke lubang pembuangan air dan menghilang. Beberapa saat lagi kepalanya yang kecil dengan sungut-sungutnya muncul dari lubang. Seakan hendak memastikan apakah tempat itu aman baginya atau tidak. Dia berlarian kembali kian kemari. Baginya ruang kamar mandi yang hanya berukur 2X3 meter persegi adalah sebuah dunia yang luas. Dunia yang memberinya kehidupan. Tempat mencari makan. Tempatnya berkembang biak sampai kematian menjemputnya.

Bagi manusia kamar mandi adalah bagian kecil dari bangunan yang lebih besar yaitu rumahnya. Sebuah rumah sebesar apapun adalah bagian kecil dari sebuah kota. Sebuah kota sebesar apapun adalah bagian kecil dari seluruh dunia. Bumi yang kita huni adalah bagian kecil alam semesta. Keluasan bumi tidak akan dipahami oleh kecoak yang hidup dalam ruang terbatas di kamar mandi. Kecoak ini pun tidak mau keluar dari kamar mandi sebab sudah merasa nyaman dan merasa bahwa ruang itu sangat luas. Membutuhkan beberapa menit untuk berkeliling.

Bagi Allah dunia adalah tempat yang sempit, sesempit kamar mandi bagi manusia. “Beginilah firman TUHAN: Langit adalah takhta-Ku dan bumi adalah tumpuan kaki-Ku; rumah apakah yang akan kamu dirikan bagi-Ku, dan tempat apakah yang akan menjadi perhentian-Ku?” (Yes 66:1). Allan Lightman dalam bukunya yang berjudul “Mimpi-Mimpi Einstein” membagi dunia menjadi dua yaitu mekanis dan perasaan. Dunia mekanis itu tetap dan kaku. Satu jam adalah 60 menit. Tapi dunia perasaan itu relatif. Satu jam bagi orang yang berdekatakan dengan musuhnya adalah waktu yang sangat lama, tapi bagi sepasang kekasih adalah waktu yang sangat pendek. Padahal sama-sama 60 menit. Suatu benda dalam pemahaman mekanis adalah tetap besar dan beratnya dimana pun juga benda itu diletakkan. Tapi dalam pandangan manusia bisa menjadi lebih kecil atau besar tergantung darimana dia melihatnya. Bola tenis akan tampak paling besar bila diletakkan diantara sejumlah kelereng. Tapi dia akan menjadi paling kecil bila diletakkan diantara bola basket. Padahal bola tenis secara mekanis adalah tetap bola tenis.

Dunia adalah relatif. Kerelatifan ini bukan hanya terjadi pada benda tapi pada semua hal. Sering orang merasa bahwa idenya paling hebat, apa yang dimiliki paling banyak dan sebagainya. Hal ini disebabkan dia tidak melihat keluar dari dirinya atau dunianya terbatas seperti kecoak di dalam kamar mandi. Dia hanya melihat sekitarnya bahkan dirinya sendiri namun sudah merasa melihat seluruh dunia. Ketika tinggal di sebuah negara asing, saya sering ditanya oleh teman dari negara itu dengan pertanyaan yang sama dan menurut saya menjengkelkan. Bila melihat sesuatu mereka bertanya apakah ini ada di Indonesia? Mereka bertanya sebab mereka hanya tahu negaranya dan belum pernah ke Indonesia. Pandangan mereka seperti kecoak di kamar mandi. Mereka merasa hebat seperti bola tenis diantara kelereng.

Seorang ketua RW dilihat sebagai orang penting oleh warga RWnya tapi dia dilihat tidak penting bila hadir dalam pertemuan para camat. Dengan memahami kerelatifan maka kita menjadi sadar bahwa sebetulnya apa yang ada pada kita, baik jabatan, status sosial, kekayaan, ide dan sebagainya adalah relatif. Memang jabatan, kekayaan dan sebagainya merupakan mekanis yaitu yang tetap. Sebagai ketua RW memang orang itu adalah ketua RW dengan tugas dan tanggungjawab tertentu. Jabatan ketua RW adalah mekanis. Tetap dan ada aturannya. Tapi di dunia ini yang sering menjadi ukuran adalah bukan sistem mekanis melainkan perasaan. Kesadaran akan kerelatifan membuat kita rendah hati, sebab apa yang ada pada kita bukanlah sesuatu yang mutlak. Apa yang hebat menurut kita ternyata dilihat sederhana oleh orang lain. Kesadaran ini akan membuat kita berani terbuka terhadap apa saja yang ada di luar diri kita dan menerimanya dengan senang hati. Tidak menutup diri dan merasa diri paling dalam segala hal. Bila kita tetap mengukuhi bahwa kitalah yang paling dalam segala hal, maka kita tidak ubahnya seekor kecoak yang ada di kamar mandi.

Senin, 19 Oktober 2009

PERSEMBAHAN

Ketika orang Majus melihat bintang itu, sangat bersukacitalah mereka. Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Mereka pun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur.” (Luk 2:10-11)

Orang Majus adalah para ahli astronomi yang percaya bahwa seorang raja besar akan lahir setelah mereka melihat bintang besar di langit. Mereka berjalan jauh dari tempat asalnya untuk mencari Sang Raja yang baru lahir. Akhirnya mereka sampai di Betlehem dan menemukan Yesus. Mereka lalu mempersembahkan apa yang mereka bawa kepada Yesus. Persembahan para majus adalah sebagian kecil persembahan yang mereka bawa. Persembahan mereka yang terbesar adalah keberanian mereka untuk meninggalkan segalanya agar dapat bertemu dengan Yesus.

Persembahan adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain yang dihormatinya tanpa keinginan untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri. Mereka memberi dengan suka cita demi kebahagiaan orang yang dihormatinya. St. Paulus mengingatkan bahwa persembahan yang terbesar adalah tubuh kita, seperti Yesus yang sudah mempersembahkan diriNya sebagai kurban untuk keselamatan manusia. “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” (Rm 12:1)

Ibu Teresa menulis “Penyangkalan total artinya memberikan diri sepenuhnya kepada Allah karena Allah telah memberikan diriNya kepada kita. Jika Allah yang tidak berhutang apapun kepada kita, bersedia memberikan diriNya kepada kita, pantaskah kita menanggapinya hanya dengan memberiNya sebagian dari diri kita?... Kami memberikan diri kami kepadaNya dan Allah menjadi milik kami, dan sekarang kami tidak mempunyai apa-apa selain Allah. Hadiah yang diberikan Allah kepada kami sebagai imbalan atas penyangkalan diri sendiri adalah diriNya sendiri.”

Bagi Ibu Teresa pelayanan adalah suatu pemberian diri kepada Allah yang ada dalam diri kaum miskin. Pemberian diri adalah menyerahkan seluruh hidup, pikiran, tenaga dan hati kita kepada kaum miskin demi kebahagiaan mereka. Kita menyerahkan tanpa menuntut balas dan dengan suka cita. Untuk itu dibutuhkan semangat penyangkalan diri seperti Yesus yang meskipun Allah namun rela melayani manusia yang rendah dan penuh dosa.

Namun hal ini tidak mudah. Kita sering ingin memiliki diri kita bagi diri sendiri. Kita ingin mempertahankan siapa diri kita adanya. Bila kita seorang pejabat yang biasanya dilayani sangat sulit untuk memberikan diri sebagai pelayan, sebab kita punya kecenderungan ingin menunjukkan siapa diri kita. Maka kita perlu keluar dari diri kita dengan melepaskan segala status, kekayaan, jabatan dan sebagainya dan menjadi hamba dari kaum miskin. Seperti orang majus yang meninggalkan negeri dan seluruh kehidupannya untuk bertemu Yesus.

Penyangkalan diri bukan hanya melepaskan apa yang melekat dalam diri kita melainkan juga membiarkan Allah yang berkarya dalam diri, sehingga bila kita melakukan sesuatu bukan lagi kita yang berbuat melainkan kehendak Allah sendiri. Dengan demikian kita tidak akan kagum dan bangga dengan apa yang telah kita lakukan, sebab Allahlah yang telah melakukan dalam diri kita. Kita pun tidak akan kecewa bila apa yang kita lakukan tidak membuahkan hasil, sebab kita hanya sebagai saluran karya Allah dalam hidup. Kita mampu menyerahkan seluruh karya kita pada Allah. Maka tidak heran bila St. Paulus mengatakan bahwa itulah ibadah sejati. Dalam beribadah bukan hanya kita menyembah Allah melainkan kita juga dikuasai oleh Allah.

Semangat penyangkalan diri hanya dapat dimiliki oleh orang yang rendah hati yaitu sikap yang menyadari bahwa kita tidak memiliki apa-apa selain Allah yang ada dalam hati kita. Kesadaran bahwa kita tidak mampu melakukan apa-apa selain tindakan dimana Allah berkenan. Bila kita mampu mempunyai sikap rendah hati dan penyangkalan diri, maka kita tidak takut untuk melakukan segala sesuatu dan tidak mudah kecewa atau bangga akan segala sesuatu.

SEBUAH MOBIL VW DI TEMPAT PARKIR


Pak Dul berlari kecil. Dia sudah mengerahkan seluruh kecepatan larinya tapi kakinya yang tua tidak mampu lagi membawa tubuhnya yang semakin menggelembung. Nafasnya sudah hampir putus tapi jarak yang hanya beberapa meter seolah menjadi track yang panjang. Jemari tangan kirinya yang sebesar sosis memegangi topi satpam yang kekecilan di kepalanya. Keringat yang beraneka warna membasahi wajahnya.
“Cepat!” bentak seorang berpakaian rapi yang berdiri dekat sebuah mobil sedan tua warna biru langit. Di kap depan ada lambang VW.
“Ini mobil siapa?” teriak orang itu sambil menggebrak kap mobil VW di sebelahnya. Pak Dul yang masih mengatur nafas wajahnya menjadi pucat. Matanya terbelalak seperti mata ikan koki. Dia terkejut bagaimana mungkin ada mobil parkir di tempat ini. Disini biasanya terparkir mobil sedan BMW hitam.
“Kamu ini gimana sih jadi satpam aja gak becus!” gelegar suara orang itu membuat wajah Pak Dul seputih mayat. “Mobil siapa ini!” bentaknya sekali lagi.
“Maaf pak saya tidak tahu.” Jawab Pak Dul tergagap-gagap.
“Bagaimana kamu tidak tahu? Lalu apa tugasmu hah!”
“Saya baru saja aplosan Pak,”
“Siapa sebelum kamu.”
“Somad Pak.”
“Panggil Somad.”
“Dia sudah pulang Pak,”
“Aku tidak peduli dia mau pulang atau ke mana. Yang penting panggil dia.” Mata orang itu melotot seolah ingin melihat lebih jelas Pak Dul yang ada dihadapannya. Pak Dul segera mengeluarkan HP yang dibelinya beberapa waktu lalu dari seorang pencopet di terminal. Dia pencet-pencet HP berusaha mencari nomor Somad. Tapi jemarinya yang gemuk tidak mampu menemukan nomor Somad. Seingatnya kemarin sudah disave sama Somad tapi mengapa sekarang tidak ada? Keluhnya dalam hati.
“Kamu bisa apa tidak pakai HP!” bentak orang itu tidak sabar melihat Pak Dul hanya pencet sana pencet sini. “Kalau gak bisa pakai HP bilang dong.” Kata orang penuh penghinaan. Pak Dul semakin bingung. Ya ini nomor Somad, kata dalam hati sedikit lega. Dia pencet nomor Somad. Tut..tut…tut.. tidak ada jawaban.
“Maaf tidak bisa dihubungi Pak,”
“Coba sini aku yang menghubungi.” Kata orang itu. Dia langsung mengambil HP dari tangan Pak Dul. “Mana nomornya Somad.”
“Itu pak di dalam HP.”
“Aku udah tahu bodoh, kalau nomor itu ada dalam HPmu.” Bentak orang itu semakin jengkel. Ingin rasanya dia meremas tubuh Pak Dul menjadi sebuah gumpalan. Tangan orang itu bergerak mencari nama Somad di dalam memori HP. Hanya beberapa detik dia sudah mencoba menghubungi Somad. Tapi tidak ada jawaban.
“Dasar satpam brengsek semua.” Gerutu orang itu. “Udah kamu cepat ke rumah Somad dan suruh dia kemari.”
“Saya tidak tahu rumahnya Pak.”
“Sebetulnya yang kamu tahu itu apa sih!” kata orang itu jengkel. “Dasar satpam goblok. Kalau kupecat baru tahu rasa kamu!” Mata orang itu berkeliling.
“Hei sini kamu!” teriaknya pada seorang anak muda yang sedang membersihkan halaman. Anak muda itu segera berlari. Dalam hitungan detik dia sudah ada dihadapan lelaki itu.
“Kau tahu ini mobil siapa?”
“Maaf pak tidak saya tidak tahu.”
“Bagaimana mungkin semua orang tidak tahu ini mobil siapa.” Orang itu makin geram. “Kamu tadi dimana ketika ada orang memarkir mobil disini?”
“Saya dari tadi di sana Pak.” Jawabnya sambil menunjuk ke arah ujung halaman.
“Harusnya kamu lihat kan siapa saja yang masuk halaman parkir ini.”
“Maaf pak itu bukan tugas saya.”
“Apa kalau bukan tugasmu maka kamu tidak peduli?” bentak orang itu. Keringat mulai meleleh di wajah dan tubuhnya. Bajunya yang rapi basah oleh keringat. Anak muda itu menundukkan kepalanya. Matanya menghitung jumlah lidi yang terikat menjadi sapu. Hatinya jengkel tapi dia berusaha untuk diam. Mulutnya dikunci rapat. Segala sumpah serapah ditekan dalam hati yang mendidih. Dia sadar sebagai pegawai outsourcing maka kesalahan sedikit saja bisa membuat hilangnya pekerjaan.
“Ada apa Pak?” sebuah suara cerah memecah kebekuan. Seorang gadis cantik berdiri di dekat mereka. Pakaiannya rapi. Baunya harum.
“Ini ada mobil yang parkir di tempat bos Bu” jawab orang itu sopan. Meski dia lebih tua tapi memangil “ibu” pada gadis yang lebih muda. Gadis itu menatap lelaki itu sejenak.
“Mobil siapa?” Tanyanya. Matanya yang indah dibentengi kaca mata dengan gagang agak besar.
“Itulah masalahnya Bu, Dul dan anak ini tidak tahu siapa yang memparkir mobil itu disini” jawab lelaki itu sambil mengusap peluh di dahi. Matanya yang garang tidak berani menatap gadis di hadapannya.
“Harusnya kamu bisa membina pegawai dengan lebih baik lagi, sehingga mereka tahu tanggungjawab.” Kata gadis itu dalam nada rendah tapi penuh kejengkelan. “Mosok soal parkir saja tidak mampu menyelesaikan? Bila bos datang lalu mobilnya mau diparkir dimana?”
“Ya bu saya akan usahakan membereskan masalah sebelum bos datang.” Jawabnya dengan mengangguk-anggukkan kepala dengan sangat sopan.
“Bapak ini bagaimana sih.” Nada gadis itu mulai meninggi. “Ini jam berapa? Sebentar lagi bos datang! Coba pikirkan dong cara yang cepat agar mobil ini tidak lagi ada disini.” Gadis itu pun pergi meninggalkan mereka diringi tatapan penuh kejengkelan dari lelaki itu. Tangan lelaki itu menggebrak kap mobil VW kuno yang masih diam membisu. Dia merasa tersinggung ditegur di hadapan bawahannya.
“Ada apa Nan?” sebuah suara terdengar di teras kantor. Langkah gadis itu berhenti di hadapan seorang lelaki setengah tua yang sedang bergegas hendak keluar kantor.
“Itu Pak,” kata gadis itu menunjuk ke arah mobil VW. “Ada mobil terparkir di tempat parkir mobil bos.” Lelaki itu sejenak menatap 3 orang yang masih berdiri di sekitar mobil VW tanpa tahu apa yang dilakukan.
“Bagaimana mungkin ada mobil bisa parkir disitu?” tanyanya jengkel. “Apa tanda larangan parkir disana masih ada?”
“Keliatannya masih Pak.”
“Kamu ini gimana sih? Kok keliatannya.” Kata lelaki itu ketus.
“Masih ada Pak,” kata lelaki yang dekat mobil VW dengan agak keras.
“Sekarang kamu cari siapa yang memiliki mobil itu.” kata lelaki itu kepada gadis yang tertunduk di hadapannya. Lelaki itu segera bergegas pergi. “Cepat sebab sebentar lagi bos datang!” perintahnya sambil terus berjalan. Gadis itu pun segera masuk ke gedung kantor. Pikirannya bergerak cepat bagaimana menemukan pemilik mobil itu dalam waktu yang cepat. Keringat dingin membasahi punggungnya. Bila sampai pemilik mobil itu tidak ditemukan sampai bos datang pasti dia akan kena damprat dari lelaki itu lagi. Tiba-tiba gadis itu berbalik ke arah tiga orang yang masih berdiri dekat mobil VW.
“Kalian cari mobil siapa saja untuk menarik mobil VW itu. Cepat!” perintahnya. Kini lelaki itu menjadi kebingungan. Dia harus mencari mobil siapa. Di dekat situ memang ada beberapa mobil parkir berderet rapi. Semua milik atasannya. Bagaimana mungkin dia akan meminjam mobil atasannya untuk menarik mobil VW ini?
“Ayo cepat cari mobil sana,” gadis itu mengulang perintahnya.
“Ya Bu,” kata lelaki itu. Dia mengeluarkan HP berusaha mencari siapa pimpinannya yang biasanya baik hati sehingga memperbolehkan mobilnya untuk menarik mobil VW ini? Beberapa detik berlalu. Tidak ada satu namapun yang memungkinkan untuk dimintai tolong. Lelaki itu menjadi semakin geram.
“Aku memintamu untuk menarik mobil ini, bukan memainkan HP.” Suara gadis itu makin keras. Dia jengkel melihat lelaki itu hanya mencari-cari nama di HP.
“Ya bu.” Keringat membasahi tubuh lelaki itu. Panasnya matahari pagi tidak mampu mengalahkan gelegak kemarahan dalam hatinya.

Sebuah mobil station wagon berwarna hitam memasuki halaman parkir. Lelaki itu hafal dengan plat mobil ini. Hatinya sedikit lega. Dia segera berjalan cepat menghampiri mobil itu dan berusaha menghentikannya.
“Ada apa?” sebuah wajah muncul di balik kaca jendela yang sudah diturunkan.
“Maaf pak apakah bapak bisa membantu saya?” tanyanya sopan.
“Membantu apa?”
“Kita sedang ada masalah Pak,”
“Masalah apa?”
“Itu lho Pak,” kata lelaki itu menunjuk ke arah VW tua. “Ada sedan butut berani parkir di tempat parkir bos.”
“Mobil siapa itu?” tanya lelaki itu dengan suara geram. “Apa dia tidak melihat tulisan di papan itu sehingga asal main parkir aja. Dasar orang goblok!” Lelaki di dekat kaca hanya diam sambil memandang penuh harap.
“Lalu kamu mau apa?”
“Menurut Bu Nan, mobil itu ditarik saja dan dipindahkan ke parkir bawah.”
“Apa kamu sudah mendorongnya?”
“Belum pak.”
“Suruh orang-orang itu mendorong.” Lelaki itu menunjuk pada pak Dul dan anak muda pembersih rumput. “Mosok hal gitu aja tidak tahu,” lelaki itu segera ke tempat pak Dul dan anak muda pembersih halaman.
“Kenapa kalian pada bengong?” tanyanya dengan nada keras. “Ayo kalian dorong.” Kedua orang itu langsung meloncat ke arah belakang mobil yang dekat tembok. Mereka berdua berusaha mendorong. Ternyata mobil itu tidak bergerak.
“Mobilnya dihandrem pak.” Kata pak Dul dengan nafas terengah-engah.
“Dasar orang goblok hanya menyusahkan orang saja.” Gerutu lelaki dalam mobil. “Udah sekarang kalian cari tali dan ikat mobil itu ke mobil ini.”
Segera pak Dul berlari ke pos satpam. Dia pernah melihat ada tali tergeletak di sana. Semoga saja tali itu masih belum dijual oleh temannya. Dalam waktu sekejap pak Dul sudah berlari kembali ke arah mobil VW dengan tali ditangannya. Dia segera jongkok di belakang mobil station wagon dan mencari tempat untuk mengikatkan talinya.
“Hati-hati jangan sampai mobilku beset.” Teriak lelaki dari dalam mobil. Pak Dul sangat berhati-hati mengikat tali di bawah mobil station wagon yang katanya harganya hampir satu milyard ini. Pemuda pembersih halaman mengikatkan ujung tali yang lain ke bawah bemper mobil VW tua. Setelah berkutat beberapa menit semua beres. Lelaki dalam mobil station wagon mulai menjalankan mobilnya. Dia menginjak gas agak keras agar ada kekuatan untuk menarik mobil itu. Perlahan mobil VW itu bergerak.
“Hai kalian tahan mobil butut itu agar tidak menabrak mobilku.” Teriakknya memberi perintah kepada siapa saja yang ada di situ. Bergegas semua orang berusaha mengatur kecepatan mobil VW itu agar tidak menabrak mobil station wagon.

“Hai mau dibawa kemana mobil itu?” teriak seseorang dari teras.
“Mau diparkir disana Bu,” kata lelaki yang mobilnya digunakan untuk menarik VW
“Kenapa?” tanya perempuan itu dengan wajah pucat. Di sampingnya berdiri seorang pemuda dengan tampang kucel melihat semua itu dengan mata terheran-heran.
“Salah parkir Bu,” jawab lelaki itu sopan meski yang dihadapinya jauh lebih muda darinya. Tapi perempuan itu adalah sekretaris dan orang kepercayaan bos.
“Kamu ini gimana sih.” Kata perempuan itu, “Ayo cepat kembalikan kesana.” Katanya sambil menunjuk ke arah tempat parkir semula.

Mendengar itu semua orang menjadi heran. Mereka bingung. Lelaki dalam mobil station wagon segera menginjak rem. Tapi mobil VW tetap menggelinding perlahan mengarah ke mobilnya. Pak Dul dan anak muda itu berusaha menghentikan. Tiba-tiba terdengar suara brak. VW itu menabrak station wagon meski tidak keras.

“Aduh gimana sih kalian ini.” Kata perempuan itu. Dia setengah berlari menuju ke arah VW yang sudah berhenti. Dia segera meneliti apakah ada kerusakan atau tidak di VW itu. Jemarinya yang lentik dan terawat mengelus kap VW untuk merasakan apakah ada yang penyok atau tidak.
“Ayo sekarang kembalikan ke tempatnya.” Suaranya rendah tapi penuh tekanan dalam setiap kata yang keluar dari bibirnya yang bergincu merah darah. Semua orang saling menatap penuh kebingungan.
“Cepat! Tunggu apa lagi?” perintahnya. Matanya melotot kepada semua orang.

Tiba-tiba anak muda yang keluar kantor bersamanya berjalan ke arah VW itu. Tubuhnya yang atletis dibungkus kaos yang tak layak di kantor ini. Dari saku celananya jeans yang agak lusuh dia mengeluarkan sebuah kunci kontak. Wajahnya tampak tidak senang. Dia membuka pintu VW itu dan duduk di belakang kemudi.

“Pak Dul, kamu lepas talinya. Cepat!” bisik perempuan itu. Pak Dul segera menguraikan ikatan tali yang mengikat VW. Dalam hitungan detik tali sudah terlepas.

“Maaf ya Frans,” kata perempuan itu sambil membungkuk hormat pada pemuda yang sudah duduk dibalik kemudi. Pemuda itu hanya tersenyum kecut. Perempuan itu lalu berdiri tegak. Pandangannya mengarah kesemua orang yang berdiri bengong disana. “Frans adalah putra Pak Sudikarma yang akan menggantikan beliau di kantor ini.”

Perkataan itu bagaikan hantu yang tiba-tiba muncul dari balik VW. Wajah semua orang menjadi pucat. Lelaki yang pertama mengetahui ada VW di parkiran bos segera datang ke arah jendela VW. Sebuah senyum ramah tersungging di bibirnya. Gadis yang sejak tadi hanya berdiri melihat pun bergegas mengikutinya di belakang.
“Maaf pak saya tidak tahu kalau ini mobil bapak,” kata lelaki itu dengan suara sangat ramah. Tangannya menepuk-nepuk body mobil dengan penuh kasih sayang. “VW macam ini sudah sangat jarang,” katanya memuji. “Ini tipe apa Pak?” tanyanya sopan.
“Karmann Ghia type 34.” Jawab pemuda itu acuh.
“Wah mobil antik.” Kata lelaki pemilik station wagon yang juga sudah berdiri di dekat mobil VW yang kini tampak menjadi sangat indah dan mahal. Tanganya mengelus-elus mobil itu. Pak Dul dan anak muda itu menjadi bingung. Kenapa semua orang sekarang menjadi ramah? Lelaki pemilik station wagon mengusap bemper mobil VW dengan kemeja panjangnya yang baru saja keluar dari binatu. Dia tidak ingin ada sisa cat di bemper itu.
“Sudah tidak perlu repot pak,” kata pemuda itu melihat bagaimana bapak itu berusah membersihkan sisa cat mobilnya yang menempel di bemper VW.
“Ah tidak apa-apa kok pak,” katanya diiringi tawa renyah seperti baru saja mendapat kabar kalau jabatannya naik. Mereka kini berdiri tegak di dekat mobil VW dengan wajah berseri. Senyum lebar dan cerah menebar kemana-mana. Pak Dul dan anak muda itu hanya menatap heran. Keringat di wajah mereka mengucur membasahi kulitnya yang berminyak. Mulut mereka ternganga menatap sandiwara satu babak. Sial! Kata pak Dul dalam hati.

Sabtu, 10 Oktober 2009

PEMBERIAN TERBESAR ADALAH DIRI

“Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” (Rm 12:1)

Dalam pemahaman sehari-hari ibadat adalah sebuah tata liturgi untuk memuji Tuhan. Ibadah dilakukan sebagai perwujudan terima kasih manusia atas kebaikan Tuhan “Ibadah ini adalah karena mengingat apa yang dibuat TUHAN kepadaku pada waktu aku keluar dari Mesir.” (Kel 13:8). Sebagai perwujudan syukur dan cinta maka dalam ibadah juga dipersembahkan aneka binatang, roti dan hasil bumi.

Yesus adalah kurban persembahan sejati, “hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah.” (Ef 5:2). Salib telah mengubah tata ibadat Yahudi. Orang Kristen tidak perlu lagi mempersembahkan kurban persembahan sebab sudah dituntaskan oleh Yesus. Hilangnya kurban persembahan bagi Paulus bukan membuat ibadah kita menjadi ringan, sebab kita diminta untuk mempersembahkan diri kita. Bukan berarti kita dikurbankan seperti Yesus melainkan mempersembahkan diri untuk pelayanan. Dengan demikian pelayanan adalah ibadah sebab kita mempersembahkan diri kita. Inilah persembahan yang hidup.

Dalam sebuah kesempatan Ibu Teresa menulis, Saya tidak menginginkan Anda memberikan sesuatu dari kelimpahan Anda. Saya tidak pernah mengijinkan orang untuk menghimpun dana bagi saya. Saya tidak menginginkan itu. Saya ingin Anda memberikan sesuatu dari diri Anda sendiri. Cinta kasih yang Anda sertakan dalam setiap pemberian Anda adalah yang sangat penting.

Pada umumnya orang memberi dari kelimpahan. Maka orang sering berpendapat bahwa untuk mengadakan sebuah aktifitas pelayanan harus ada dana terlebih dahulu. Ibu Teresa menolak itu. Pemberian terbesar adalah pemberian diri yang penuh cinta kepada Tuhan yang tersamar dalam diri orang miskin dan menderita. Tuhan telah memberikan kepada kita aneka anugerah misalnya tenaga, kelengkapan tubuh dan sebagainya. Permberian itulah yang harus kita persembahkan kepada Tuhan. Bila kita hanya memiliki kaki untuk berjalan, maka persembahkan kaki kita untuk berjalan mengunjungi orang yang sakit dan sebagainya. Pelayanan bukan berasal dari kelimpahan melainkan dari kekurangan. Dengan merasa kurang maka kita akan bersandar pada penyelengaraan Ilahi. Ibu Teresa tidak pernah dicemaskan akan kekurangan dana dan barang. Dia bersandar pada penyelengaraan Ilahi. Dengan demikian untuk melayani tidak dibutuhkan harta dan benda yang berkelimpahan, melainkan hati yang tulus dan penuh kasih kepada sesama.

Pelayanan kita adalah sebuah doa bila kita sungguh ingin mempersembahkan apa yang kita miliki untuk Allah sebagai rasa syukur. Anugerah Allah yang terbesar adalah diri kita, maka persembahan terbesar adalah persembahan diri kita. Namun sering kali kita kurang melihat anugerah Allah dalam hidup kita. Kita sering merasa bahwa diri kita kurang. Kita menginginkan yang lebih dari apa yang kita miliki dalam hidup. Ketika kita masih merasa kurang, maka kita enggan untuk memberikan apa yang kita miliki untuk sesama. Kita hanya meminta kepada Allah untuk memberikan apa yang inginkan, sehingga lupa dan tidak melihat ada banyak orang lain yang lebih membutuhkan. Maka agar dapat memberikan diri, kita harus mensyukuri atas apa yang kita miliki dan alami. Kita melihat bahwa semua yang kita miliki dan alami berasal dari kemurahan hati Allah. Dari sini baru kita dapat melakukan pelayanan sebagai doa syukur kepada Allah.

SUKA CITA DALAM PELAYANAN

“Jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita.” (Rm 12:8)

Paulus dalam nasehatnya kepada jemaat di Roma, mengingatkan bahwa dalam jemaat ada banyak anugerah yang dapat digunakan untuk mengembangkan Kerajaan Allah. Namun semua itu harus dilakukan dengan tulus hati dan suka cita. Paulus menyadari bahwa orang yang mempunyai karunia dapat merasa lebih dari yang lain. Mereka dapat menjadi sombong. Kerajaan Allah adalah komunitas damai dan suka cita, dimana kasih menjadi dasarnya. Bila ada kesombongan maka Kerajaan Allah tidak akan terbangun. Maka setiap pelayanan hendaknya dilakukan dengan tulus iklas.

Banyak orang yang melakukan pelayanan. Namun sering kali perbuatan baik ini kurang didasari oleh sebuah motivasi yang baik. Motivasi yang baik adalah bila segala pelayanan kita mengarah pada Allah bukan pada manusia. Apa yang kita lakukan demi kemuliaan Allah. Memang ada perbedaan antara Paulus dan Yohanes. Paulus menekankan balasan dari Allah, “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.” (2Kor 9:7) sedangkan Yohanes menekankan bahwa pelayanan kita adalah kesadaran akan cinta Allah. “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” (1Yoh 4:19). Namun semua itu mengarahkan kita untuk melakukan pelayanan dengan suka cita dan tulus hati seperti Allah yang telah memberi kepada kita segalanya dengan suka cita dan tulus.

Ibu Teresa menulis, Missionaris Cinta Kasih adalah keluarga yang memiliki cinta kasih, kedamaian dan kegembiraan. Jika Anda tidak mempunyai kedamaian dan cinta kasih di dalam keluarga Anda atau dalam hati Anda sendiri, bagaimana mungkin Anda akan memberikan semua itu kepada orang lain? Cinta yang sejati harus menanggung sakit. Saya berharap Anda akan mempelajari kebenaran itu dalam kehidupan Anda kemudian berbagi kegembiraan dalam cinta kasih. Bila Anda sedang memasak, mencuci pakaian atau bekerja keras di kantor, lakukan semua itu dengan gembira. Itu merupakan cinta kasih Anda kepada Tuhan.

Bagi Ibu Teresa cinta kasih adalah sumber kebahagiaan. Bila semua pelayanan dilakukan berdasarkan cinta kasih maka orang akan melayani dengan bahagia. Maka Ibu Teresa menekankan agar kita memiliki cinta kasih sebelum melakukan pelayanan. Sumber cinta kasih yang besar adalah kesadaran akan cinta kasih Allah yang telah dianugerahkan kepada kita. Memang dapat saja orang kurang memiliki cinta kasih melakukan pelayanan, namun hal itu akan tampak dari segala tindakannya. Dia akan mudah menuntut orang yang dilayani. Dia mudah frustasi dan kecewa kepada orang yang dilayani dan sebagainya. Pelayanannya menjadi kering dan rutinitas belaka.

Pelayanan adalah tindakan cinta kasih kepada Tuhan, bukan hanya sekedar melakukan sebuah tindakan pada manusia yang menderita. Bila kita melakukan demi Tuhan, entah Tuhan akan membalas atau tidak, maka semua itu akan kita lakukan dengan suka cita. Kita akan setia melakukan pelayanan meski apa yang kita kerjakan kurang diterima oleh orang lain atau dicemooh oleh sesama. Kita tidak mudah putus asa dan menyerah oleh aneka rintangan. Kita tidak mengukur besar kecilnya sebuah pelayanan. Di mata Tuhan tidak ada tindakan besar atau kecil melainkan ada cinta kasih dan rasa syukur. Bila pelayanan itu berdasarkan pada Tuhan maka pelayanan itu menjadi sebuah doa.

PEMBERIAN YANG PENUH KASIH

Rata Penuh“Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.” (1Yoh 13:16)

Pada Perjanjian Lama sebelum Kristus sudah banyak nabi dan orang suci yang diutus Allah untuk membawa manusia kembali padaNya. Mereka mengaja agar manusia saling mengasihi, berlaku adil terhadap sesama, serta membela kaum miskin dan tertindas. Namun tidak satupun yang mati demi orang yang dibelanya. Yesus bukan hanya mengajar dengan perkataan dan tindakan keselamatan seperti menyembuhkan, memberi makan dan sebagainya, namun Dia menyerahkan diriNya demi keselamatan manusia. inilah puncak kasih Kristus yaitu peristiwa penyaliban. Tidak ada pemberian yang lebih besar daripada pemberian nyawa demi kedamaian dan keselamatan orang lain. Apa yang dilakukan Kristus adalah sebuah wujud keteladanan bagaimana seharusnya kita hidup dan bersikap.

Namun penyerahan nyawa bukanlah segalanya bila tidak didasari oleh cinta. Paulus mengingatkan kita bahwa dari segalanya yang terbesar adalah cinta. “Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku.” (1Kor 13:3). Hal ini mengingatkan kita bahwa segala pemberian entah besar atau kecil harus didasari oleh kasih yang besar.

Suatu hari Ibu Teresa menemukan seorang yang sangat mabok di tengah jalan. Tampaknya dia orang yang cukup mampu, tapi saat itu dia sangat mabok, sehingga berdiripun dia tidak mampu. Orang itu dibawa ke rumah penampungan. Disana para suster merawatnya dengan penuh kasih, perhatian dan keramahan. Setelah dua minggu dia berkata pada para suster, “para suster hatiku terbuka. Kini saya menyadari bahwa Tuhan mencintai saya. Saya telah merasakan kasihnya yang lembut. Saya mau pulang.” Sebulan kemudian dia datang lagi membawa cek. Cinta kasih berhasil membawa dia kembali kepada lingkungan keluarganya, ke lingkungan anaknya yang ramah dan istrinya yang sangat mencintainya. Cinta kasih yang Anda sertakan dalam pemberian Anda adalah yang paling penting. Jika Anda ingin berbahagia, jika Anda ingin mempunyai keluarga yang suci, ulurkan tangan Anda untuk melayani dan berikan hati Anda untuk mencintai.

Pada jaman ini banyak orang yang memberi. Ketika terjadi gempa di Jogjakarta banyak sekali orang yang berbondong-bondong kesana untuk membantu. Hal ini bukan hanya ketika terjadi di Jogjakarta melainkan dimana-mana. Banyak orang berani memberikan apa yang mereka miliki untuk orang lain. Jika demikian apakah negara kita sudah penuh dengan orang yang saling mencintai? Suatu pemberian bukan tolok ukur sebuah cinta. Ada banyak orang memberi tanpa cinta namun dengan aneka alasan lain. Pemberian cinta adalah pemberian diri yang dapat mengubah seseorang. Ibu Teresa memberikan kasihnya yang terungkap dalam merawat orang mabok. Orang itu merasakan kasih yang besar dan berubah. Dia pun memberi cek agar Ibu Teresa dan para suster memperlakukan orang lain seperti mereka memperlakukan dirinya. Kasih itu mengubah orang. Mengubah bukan berarti hanya mengubah secara fisik misalnya orang miskin menjadi kaya. Namun mengubah untuk lebih bisa saling mengasihi. Kasih yang kita berikan menyadarkan orang akan kasih Allah dan membantunya untuk mampu mengasihi orang lain seperti yang pernah dia rasakan dari kita.

ADORASI

“Pada waktu itu pergilah Yesus ke bukit untuk berdoa dan semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah.” (Luk 6:12)

Beberapa kali Yesus masuk tempat sepi untuk berdoa pada Bapa. Bahkan dalam kesibukanNya dan ketika sangat dibutuhkan banyak orang, Dia pun pergi ke tempat sepi untuk berdoa (Mrk 1:33-37). Apakah Yesus begitu egois sehingga meninggalkan banyak orang untuk berdoa? Berdoa adalah menjalin hubungan dengan Allah. Bagi Yesus menjalin hubungan yang mesra dengan Allah adalah diatas segalanya. Bila dekat dengan Allah maka akan semakin memahami kehendak Allah. Berdoa berarti juga mempersatukan diri dengan Allah, sehingga terbangun satu kesatuan yang erat “Aku dan Bapa adalah satu” (Yoh 10:30). Yesus berdoa ditempat-tempat sepi dan sendiri. Dalam keheningan itu Dia dapat berbicara dengan Bapa secara khusus. Dia mencari kehendak Bapa (bdk. Mat 26:37-44).

Dalam dunia ini orang menikmati keramaian. Orang juga terjebak dalam arus jaman yang sibuk, sehingga orang berusaha untuk masuk dalam kesibukan. Orang modern adalah orang yang sibuk. Akibatnya doa dalam hening ditinggalkan. Orang lebih menikmati doa dalam keramaian. Orang pun tidak mempunyai waktu doa, sebab tenggelam dalam kesibukannya. Bila belajar dari Yesus maka kita butuh waktu hening untuk mempersatukan diri dengan Allah sehingga dapat melihat kehendakNya. Adorasi adalah doa hening dimana kita berhadapan dengan Yesus. Melihat belas kasih Yesus yang sedemikian besar sehingga menyerahkan nyawaNya bagi kita. Melihat kesederhanaan Yesus yang siap menjadi roti yang kita santap.

Ibu Teresa menulis, “Kami mempunyai banyak pekerjaan bagi kaum miskin. Kami tidak perlu mengurangi pekerjaan kami untuk dapat mengadakan adorasi itu. Sering kali kesibukan pekerjaan dijadikan alasan bagi banyak orang untuk tidak mengadakan adorasi setiap hari. Saya dapat menceritakan kepada Anda bahwa ada perubahan besar sejak di dalam konggregasi kami ada adorasi setiap hari. Cinta kasih kami kepada Yesus semakin mendalam….Hati Kudus Yesus merupakan pusat cinta kasih kita. Ekaristi merupakan kekuatan kita, kebahagiaan dan cinta kasih kita, kedamaian yang memungkinkan kita menerima Yesus dan kemudian membagikan Dia kepada orang-orang lain,”

Pelayanan kepada kaum miskin membutuhkan energi yang besar. Mengasihi orang menderita membutuhkan kasih yang tulus dan besar. Bagi Ibu Teresa sumber kasih yang besar itu didapatkanya ketika dia mempersatukan diri dengan Allah dalam adorasi dan keheningan. Menurut Ibu Teresa setelah mengadakan adorasi setiap hari, jumlah anggota konggregasinya semakin banyak. Hal ini bukan mujijat adorasi melainkan dengan adorasi dan hening, Ibu Teresa semakin bersatu dengan Allah, sehingga apa yang dikatakan dan dilakukan merupakan cerminan karya Allah yang berbelas kasih.

Dalam hening kita bisa melihat karya kita dalam terang Allah. Kita dapat menilai diri sendiri apakah yang kita lakukan sudah sesuai dengan kehendak Allah? Apakah karya kita sudah mencerminkan kehendak Allah? Terlebih adalah melihat belas kasih Allah dalam hidup kita. Kesadaran belas kasih itulah yang kita wartakan pada dunia. Namun pada umumnya sering kita meremehkan adorasi. Kita menganggap bahwa bertindak belas kasih jauh lebih berguna daripada duduk dalam hening. Padahal bila kita terus bertindak maka akan mengalami kejenuhan. Kita akan mudah marah dan putus asa. Kita akan mengalami kekeringan sebab usaha yang kita lakukan adalah usaha pribadi bukan melaksanakan kehendak Allah.

KITA ADALAH PANCARAN KASIH ALLAH

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu. Sebab Aku pergi kepada Bapa." (Yoh 14:12)

Iman dan perbuatan adalah satu kesatuan. Penulis surat Yakobus mengatakan bahwa seseorang dapat disebut sebagai orang beriman bila dia dapat menunjukkan iman itu dalam perbuatannya (Yak 2:18-20). Dengan demikian tidak cukup seseorang mengaku diri sebagai orang beriman dengan mengatakan bahwa “aku percaya pada Allah,” melainkan harus mewujudnyatakan dalam segala tindakannya. Tindakan iman bukan hanya berdoa atau melakukan aktifitas kerohanian. “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat 7:21).

Salah satu syarat bagi orang yang menentap di Indonesia adalah dia harus memeluk sebuah agama. Akibatnya banyak orang terpaksa memeluk agama sebab kuatir akan mendapatkan kesulitan dalam hidupnya. Dia hanya beragama tapi tidak menunjukkan diri sebagai orang beriman. Kalau toh dia menunjukkan imannya hanya menggunakan atribut keagamaan atau mengikuti kewajiban perayaan agama pada hari yang sudah ditentukan. Namun dalam kehidupan sehari-hari tidak mencerminkan keimanannya.

Ibu Teresa menulis bahwa “seorang kerabat Missionari Cinta Kasih adalah pembawa dan cermin dari kasih Tuhan. Kita semua harus mempunyai tekad untuk membawa cinta kasihNya kemana-mana. Mengapa? Karena Yesus pernah bersabda,”Kamu lakukan itu kepadaKu. Ketika Aku lapar, telanjang, tidak mempunyai rumah, dan kesepian. Dan kamu melakukannya untuk Aku.” Itulah sebabnya para Missionaris Cinta Kasih, demikian pula rekan-rekan yang melayani orang-orang sakit, para karyawan, kaum kontemplatif, kaum muda, dan rekan-rekan dokter semuanya disebut sebagai pembawa cinta kasih Tuhan.

Ibu Teresa mengimani Allah yang penuh kasih pada kaum miskin. Iman ini diwujudkan dalam seluruh kehidupannya yang penuh kasih pada setiap orang yang membutuhkan. Setiap keputusan dan perkataannya menunjukkan cinta kasih Allah yang besar pada kaum miskin sehingga setiap orang yang memandang dan bertemu dengannya dapat merasakan kasih Allah yang terpancar dari pribadinya. Bagi Ibu Teresa beriman adalah keberanian untuk mencintai Yesus dengan sepenuh diri. Mencintai Yesus bukan hanya menganggumi tapi berjalan sesuai dengan apa yang diperintahkanNya. Mengerjakan apa yang dikerjakanNya bahkan lebih besar lagi. Pada jaman Yesus tidak ada penyakit AIDS, orang yang mati akibat sistem kasta dan sebagainya. Inilah pekerjaan-pekerjaan besar lain yang diwariskan Yesus kepada para pengikutNya. Inilah tantangannya, sebab orang mudah sekali kagum pada orang yang berbuat baik melainkan enggan untuk menjalankan apa yang dijalankan oleh orang yang dikagumi.

Ibu Teresa juga menghendaki kita menjadi cermin. Cermin adalah sarana seseorang untuk melihat diri sendiri. Maka segala tindakan cinta kasih kita hendaknya mampu membawa orang untuk menyadari akan dirinya sendiri. Menyadari akan siapa dirinya dan perutusan hidupnya. Bila dia seorang beragama maka dia akan menyadari untuk mewujudkan imannya dalam hidupnya. Dengan melihat sikap hidup kita maka orang pun menjadi tergerak untuk melakukan tindakan kasih. Dalam pelayanan, maka tindakan kita menyadarkan pada orang yang kita layani bahwa dia adalah manusia yang bermartabat meski kemiskinan dan penderitaan menimpanya. Dia menyadari bahwa dia adalah ciptaan Allah yang utama.

BELAJAR DARI ANAK KECIL

Yesus bersabda: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. (Mat 18:3)

Pada jaman Yesus hidup anak-anak dan perempuan adalah termasuk orang yang menduduki bagian terendah dalam struktur masyarakat akibatnya mereka kurang dihargai. Mereka dianggap orang yang tidak tahu apa-apa. Padahal anak-anak adalah manusia yang masih diliputi oleh pikiran-pikiran yang tulus dan murni. Bila mereka bertindak tanpa didasari oleh motivasi-motivasi tersembunyi. Misalnya mereka memberi sebab memang mereka ingin memberi bukan untuk mencari keuntungan diri sendiri. Sedangkan orang dewasa sering kali melakukan sebuah tindakan dengan aneka motivasi tersembunyi untuk keuntungan diri mereka sendiri.

Anak-anak pun senantiasa bersuka cita dalam aneka masalah hidupnya. Inilah dasar untuk pembangunan Kerajaan Allah, sebab Kerajaan Allah adalah situasi dimana orang dapat mencintai secara tulus dan penuh suka cita. Maka Yesus mengajak para murid untuk belajar dari mereka. Bahkan para murid dituntut untuk bertobat untuk menjadi seperti anak kecil. Hal ini bukan berarti mereka harus menjadi kekanak-kanakan, melainkan meniru ketulusan dan kemurnian sikap anak-anak.

Suatu hari Ibu Teresa memberikan roti kepada beberapa anak miskin. Ternyata ada seorang anak yang tidak memakan roti itu. Ibu Teresa bertanya mengapa roti itu tidak dimakan? Anak itu menjawab, “Ayah saya sakit. Saya lapar sekali, tapi ayah saya sakit, dan saya kira dia akan senang sekali kalau mendapat roti ini.” Dalam renungannya Ibu Teresa menulis, anak itu rela memberikan rotinya agar dapat menggembirakan ayahnya karena mendapat sepotong roti. Kaum miskin itu orang yang berjiwa besar! Mereka tidak memerlukan simpati dari kita. Mereka tidak minta agar kita kasihan pada mereka. Mereka orang-orang yang berjiwa besar.

Kita dapat belajar dari pengalaman Ibu Teresa yang belajar dari ketulusan anak-anak. Meski dia sendiri membutuhkan namun karena terdorong oleh cinta yang besar kepada ayahnya maka dia rela menahan laparnya demi ayahnya. Inilah kebesaran cinta. Cinta yang berani mengurbankan kepentingan-kepentingan diri sendiri demi kebahagiaan orang lain. Inilah kebesaran jiwa seperti Yesus yang berani berkurban untuk manusia.

Dalam dunia saat ini banyak orang melakukan suatu tindakan dengan aneka macam motivasi. Orang memberi dengan motivasi akan menerima kembali. Banyak orang mencari keuntungan bagi dirinya sendiri dari setiap yang dia lakukan bahkan dalam tindakan amal. Keuntungan bukan hanya dalam wujud materi namun juga prestasi, nama baik, kebanggaan diri dan sebagainya. Hal ini tampak adanya banyak orang yang beramal akhirnya menemukan kekecewaan sebab orang yang diberi tidak membalas seperti yang dia inginkan. Akhirnya mereka tidak mau beramal kembali.

Dalam mengasihi dibutuhkan ketulusan dan sikap tanpa pamrih. Kita tidak berpikir mengenai diri kita, melainkan memikirkan orang yang kita beri. Kita tidak menuntut mereka menjadi seperti yang kita inginkan melainkan membiarkan mereka seperti yang mereka inginkan. Tindakan kasih yang kita lakukan bukan untuk membentuk orang menjadi seperti yang kita harapkan. Tindakan kasih adalah untuk membahagiakan orang. Maka Yesus menyerukan pertobatan agar kita menjadi anak-anak yang berjiwa besar. Manusia yang berani berkurban demi orang lain tanpa mempunyai maksud lain selain kebahagiaan orang yang dicintainya.

ANAK DAN KELUARGA

Maka Yesus menjawab dan berkata kepadanya: "Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki." Dan seketika itu juga anaknya sembuh. (Mat 15:28)

Suatu hari Ibu Teresa menemukan anak kecil di jalan. Dia membawa ke rumah dan memberi pakaian yang layak. Tapi anak itu melarikan diri. Ibu Teresa mengutus seorang suster untuk mengikutinya. Ternyata anak itu kembali kepada ibunya yang menjadi pengemis. Ketika ditanya mengapa dia tidak mau tinggal di rumah yang disediakan? Anak itu menjawab bahwa dia tidak dapat berpisah dengan ibunya sebab dia sangat mencintainya. Dari pengalaman ini Ibu Teresa belajar bahwa kebahagiaan seseorang bila dia menemukan cinta dalam keluarga. “Tidak ada anak muda atau gadis muda melarikan diri dari rumah karena tidak mempunyai ini atau itu. Mereka hanya melarikan diri dari rumah yang tidak mempunyai kasih sayang.”

Dalam dunia dewasa ini banyak anak yang kehilangan kasih sayang dari keluarganya. Mereka menjadi anak yang putus asa, mudah menyerang, hidup seenaknya, tidak punya harapan dan sebagainya. Persoalan ini menimpa keluarga tanpa memandang status sosial, ekonomi, suku dan sebagainya. Tidak jarang kasus anak yang putus asa muncul dari keluarga yang dianggap baik oleh masyarakat. Orang tuanya aktif melakukan aktifitas sosial, hidup menggerejanya baik, dalam kehidupan bermasyarakat tidak mempunyai masalah, dan sebagainya, namun ternyata anaknya menjadi anak yang kesepian dan putus asa sehingga melakukan hal-hal yang tidak terpuji.

Dalam Injil seorang perempuan Kanaan rela diusir oleh para murid bahkan dihina oleh Yesus sebab dia memohon terus menerus pada Yesus untuk kesembuhan anaknya yang sedang sakit. Cinta pada anaknya membuatnya mampu bertahan menghadapi segala tantangan. Cinta yang besar membuatnya berserah pada Tuhan. Iman adalah perwujudan cinta pada Tuhan, bila seseorang mampu mencintai anaknya sedemikian besar maka dapat dipastikan dia dapat mencintai Tuhan secara penuh.

Mencintai anak secara penuh sering kali menjadi tantangan dalam dunia dewasa ini. Saat ini banyak orang aktif mengadakan pelayanan-pelayanan bagi kaum miskin dan menderita. Orang aktif menjalankan ajaran agamanya. Namun mengapa semakin banyak anak yang tumbuh dalam kesepian dan kefrustasian? Hal ini mungkin disebabkan banyak orang lebih memilih mencintai orang diluar keluarga dibandingkan dalam keluarganya sendiri. Memang sangat mudah mencintai orang di luar keluarga sebab hal itu hanya dilakukan sesaat saja. Tidak ada ikatan emosional, sebab lebih pada pelayanan. Kita pun dapat berpura-pura mencintai dan baik. Ada aneka topeng yang kita kenakan. Sebaliknya bila melayani dan mencintai keluarga tidak dapat sesaat saja. Keluarga ada bersama kita. Kita tidak dapat memakai topeng kelemah lembutan, murah hati, senyum dan sebagainya. Kita menjadi diri kita apa adanya. Bila pelayanan di luar kita dapat berusaha menahan diri bila orang yang kita layani tidak sepaham dengan kita, sebab setelah itu kita pergi meninggalkan mereka. Tapi di dalam keluarga kita tidak dapat meninggalkan anak kita meski dia tidak sepaham dengan kita. Disinilah yang menyebabkan timbulnya keinginan melayani diluar tapi melupakan keluarga.

Ibu Teresa menegaskan pelayanan dimulai dari keluarga. Dia berkata “Cinta kasih itu hidup ditengah keluarga.” Dalam keluarga cinta kita diuji. Kita dituntut mencintai setiap pribadi sepenuhnya. Bila kita menemukan cinta dalam keluarga maka kita akan mempunyai akar yang kuat dalam pelayanan kita

MARIA SEBAGAI TELADAN

Tetapi jawab Yesus kepada orang yang menyampaikan berita itu kepada-Nya: "Siapa ibu-Ku? Dan siapa saudara-saudara-Ku?" Lalu kata-Nya, sambil menunjuk ke arah murid-murid-Nya: "Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Sebab siapa pun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku." (Mat 12:48-50)

Ibu Teresa sangat menganggumi Maria, bukan hanya karena dia adalah ibu Yesus melainkan karena sikap dan teladan Maria. Dalam sebuah tulisannya Ibu Teresa menulis “Panggilan Bunda Maria adalah menerima Yesus ke dalam hidupnya. Dia bersedia menjadi abdi bagi Tuhan. Kemudian bergegaslah dia pergi untuk menyerahkan Yesus kepada St. Yohanes Pemandi dan ibunya.” Bagi Ibu Teresa Maria bukan hanya menerima Yesus dalam hidupnya namun dia juga mendidik Yesus di Nasaret dan membawa Yesus pada orang lain sehingga orang lain memuji Tuhan seperti Yohanes memuji Tuhan dalam kandungan Elisabet.

Maria adalah orang beriman yang pertama. Dia percaya pada Yesus dan segala yang disabdakan oleh Tuhan padanya meski hal itu sangat membingungkannya. Bagaimana mungkin dia yang belum bersuami akan mengandung dan melahirkan seorang putra dari Roh Kudus? Namun dia memposisikan diri sebagai hamba yang taat pada perintah tuannya. Hal yang menganggumkan dari Maria adalah kepeduliannya pada orang lain yang menderita. Ketika mendengar Elisabet mengandung maka dia bergegas ke rumah Elisabet dan membantunya sampai Elisabet melahirkan. Padahal saat itu dia juga sedang mengandung. Maria adalah pelaku firman. Maka ketika Yesus ditanya siapa ibunya? Yesus menjawab ibunya adalah orang yang melakukan firman. Siapakah orang yang hebat menjalankan firman selain Maria, bunda Yesus?

Di dunia ini banyak orang yang memeluk agama dan merasa bahwa dirinya sudah beriman. Sebenarnya iman adalah perwujudan dari penyerahan hidup manusia kepada Tuhan. Dia percaya secara penuh dan utuh akan Tuhan. Kepercayaan ini terungkap dalam sikap hidup dan tindakan nyata. Yakobus mengatakan iman tanpa perbuatan hakekatnya adalah mati. Bila orang mengaku bahwa dirinya orang beragama dan beriman namun hidupnya tidak diwarnai oleh iman itu maka sebetulnya dia bukan orang beriman. Mungkin dia orang beragama namun bukan orang beriman.

Ibu Teresa berusaha mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dia percaya bahwa Yesus akan memberi apa yang dibutuhkannya, maka dia tidak pernah kuatir dalam semua hal, sebab dia percaya bahwa Yesus akan memberikan segalanya pada saat yang tepat. Iman Ibu Teresa juga bersumber dari iman Maria yang siap melayani semua orang. Maria yang menerima Yesus dan membawaNya pada orang lain. Ibu Teresa menulis, “Dewasa ini Yesus mendatangi kita dan kita pun seperti Bunda Maria harus bergegas memberikan Dia kepada orang-orang lain.”

Kita sudah menerima Yesus dalam hati. Maka tugas kita adalah membawaNya kepada setiap orang agar mereka mengenal Yesus dan memujiNya. Membawa Yesus pada orang bukan berarti hendak mengkristenkan. Ibu Teresa menghendaki agar orang mengenal Allah bukan untuk menjadi Kristen. Dengan demikian pelayanan kita harus murni demi menolong orang miskin bukan sebagai sarana untuk mengkristenkan orang yang bukan Kristen. Inilah kemurnian pelayanan.

YESUS YANG MISKIN DAN MENYEDIHKAN

“Sesungguhnya, hamba-Ku akan berhasil, ia akan ditinggikan, disanjung dan dimuliakan. Seperti banyak orang akan tertegun melihat dia -- begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi, dan tampaknya bukan seperti anak manusia lagi.” (Yes 52:13-14)

Di komunitas MC di Calcuta ada seorang gadis kaya lulusan sebuah perguruan tinggi yang menjadi postulan (calon suster). Dia harus melakukan kunjungan pada kaum miskin. Sebelum dia berangkat menjalankan tugasnya Ibu Teresa mengatakan, “Kamu telah melihat imam dalam misa yang dengan cinta dan perhatian yang manis dia menyentuh tubuh Kristus.Yakinlah kamu telah melakukan hal yang sama ketika kamu sampai di rumah orang miskin, sebab Yesus ada disana dalam penyamaran yang menyedihkan.”

Ibu Teresa senantiasa berefleksi dan hening di depan salib dan tabernakel. Dia melihat kemiskinan dan penderitaan Yesus disana. Yesus yang Putra Allah wafat dalam kemiskinan dan penderitaan yang sangat menyedihkan. Kepedihan dan penderitaan Yesus saat ini terpancar dalam diri orang miskin. Yesus ada dalam diri orang miskin. Maka Ibu Teresa mengatakan bahwa Yesus bukan hanya ada dalam hosti melainkan Dia hidup dalam diri orang miskin. Siapa yang menyentuh orang miskin, maka dia sudah menyentuh Yesus seperti dia menyentuh Yesus yang berupa hosti.

Demi keselamatan manusia Yesus menyerahkan diriNya kepada manusia. Dia melepaskan kesetaraanNya dengan Allah menjadi manusia yang miskin dan wafat secara mengerikan di salib. Kemiskinan yang dialami Yesus adalah kemiskinan total. Di salib Dia kehilangan kekayaanNya, statusNya, dan martabatNya sebagai Putra Allah. Yesaya menggambarkan dengan tepat sekali apa yang akan dialami oleh Yesus. Dia begitu buruk rupa seperti bukan manusia lagi. Kemiskinan adalah bila orang diperlakukan tidak seperti manusia. Dia diperlakukan sewenang-wenang, ditinggalkan, tidak dicintai dan sebagainya. Dia dihilangkan jati dirinya sebagai manusia yang bermartabat, sehingga mereka kehilangan jati dirinya sebagai citra Allah.

Ibu Teresa berusaha menjadikan kaum miskin sebagai manusia yang bermartabat kembali. Manusia yang merupakan citra Allah. Maka pelayanan yang dilakukan adalah berusaha mencari orang-orang yang telah dibuang dan tidak dianggap manusia lagi. Mereka seperti Yesus yang disalibkan. Agar dapat melayani kaum miskin, maka orang harus berani hidup miskin. Berani melepaskan apa yang menjadi miliknya seperti Yesus melepaskan seluruh kepemilikanNya. Dalam pelayanan pun Ibu Teresa berusaha menjadi miskin. Dia tidak ingin mempertahankan apa yang dimilikinya supaya dapat memahami dan merasakan makna kemiskinan itu. Mengalami betapa beratnya dihilangkan segala sesuatu yang dimiliki sampai kemanusiaannya. Dalam sebuah wawancara Ibu Teresa mengatakan “Kami akan menyesuaikan diri dalam bentuk pakaian jika itu bisa lebih diterima oleh kaum miskin dimana kami merasa terpanggil untuk melaksanakan karya kami.” Para suster MC mengenakan sari sebab sari adalah pakaian umum masyarakat India. Namun Ibu Teresa berani meninggalkan sari bila memang kaum miskin tidak dapat menerimannya sebab dia berpakain seperti itu. Inilah salah satu bentuk pelepasan diri dan menjadi miskin.

Rabu, 07 Oktober 2009

RUMAH DARI COKLAT


“Membaca apa rek?” tanyaku sambil duduk di sela tiga anak-anak yang duduk melingkari sobekan koran kumal yang dibentangkan di trotoar. Koran lusuh itu mungkin bekas bungkus sesuatu yang dibuang orang di tepi jalan. Beberapa bagian tampak kotor dan berwarna coklat tua. Mungkin bekas kena kuah makanan.
“Ini lho mas,” kata salah satu anak menunjuk sebuah foto dan keterangan foto itu. Aku berusaha melihat apa yang menjadi pusat perhatian anak-anak.
“Foto apa?” tanyaku
“Rumah dari coklat.” Jawab yang lain. Foto di koran sudah tampak samar tapi masih cukup jelas. Sebuah foto tentang rumah-rumahan dan di sekitarnya ada beberapa orang berdiri sambil tersenyum. Seorang berpakaian putih dengan topi putih menjulang tinggi tampak sedang sibuk memperbaiki rumah-rumahan itu. Di bawah foto ada keterangan dalam rangka menyambut Natal sebuah hotel membuat rumah dari coklat.
Aku menatap mereka satu persatu. Aku tidak tahu apa yang telah mereka bicarakan sebelum aku datang. Dua orang gadis berpakain bersih melintas dekat kami. Bau harum menebar sejenak mengganti bau yang melekat diantara kami. Kalau dilihat pakaianya mereka adalah pegawai penjual parfum dan alat kosmetik di plaza yang berdiri megah di seberang jalan.
“Kenapa rumah coklat?” tanyaku ingin tahu.
“Ini coklat sungguhan?” tanya anak yang memakai baju yang sudah pudar warnanya. Matanya penuh ingin tahu. Aku menganggukkan kepala.
“Apa aku bilang,” seru anak yang memakai kaos hijau seragam Persebaya. “Dia ini suka ngeyel. Aku kan bilang ini coklat sungguhan. Ini lho ada tulisannya.” Lanjutnya sambil jemarinya yang kotor menunjuk pada keterangan foto.
“Mosok coklat yang bisa dimakan dijadikan rumah?” tanya anak itu masih tidak percaya. Matanya berkedip-kedip lucu. Wajahnya yang kotor mungkin beberapa hari belum mandi memancarkan tanya yang tidak dipahami.
“Ya bisa aja kan,” jawabku berusaha menengahi.
“Peyeng ini memang suka ngeyel. Sudah diberitahu masih nggak percaya aja.” Kata anak berkaos Persebaya sambil menatap jengkel pada anak yang dipanggil Peyeng.
“Aku kan tanya.” Sanggah Peyeng. Dia menatap balik anak berkaos Persebaya penuh tantangan. Bibirnya yang hitam terbakar rokok tampak cemberut kesal.
“Uh…” kata anak yang lain sambil mendorong kepala Peyeng.
“Jancuk!” teriak Peyeng marah. Dia langsung berdiri. Tanganya hendak melayang ke arah anak itu. Meski tubuh Peyeng lebih kecil dari pada anak itu tapi dia tidak takut. Di dunia anak jalanan rasa takut adalah sesuatu yang memalukan. Sejak kecil mereka masuk dalam dunia menindas atau tertindas. Bila saat ini tertindas maka besok dia akan menjadi penindas. Hidup dalam situasi bertahan atau menyerang. Berkelahi adalah hal biasa.
“Udah.. udah.” Kataku sambil memegang lengan Peyeng yang sudah bergerak untuk memukul. Kutarik lengan itu agar dia duduk lagi di sebelahku. “Mosok gini aja mau berkelahi.” Kata sambil mengelus-elus kepala Peyeng. Sudah berpuluh kali aku mengatakan pada mereka agar jangan berkelahi namun perkataanku itu berlalu seperti angin yang lewat di sela tangga penyeberangan jalan di atas kami.
“Pesek memang nglamak mas.” Gerutu Peyeng. “Awas kamu!” ancamnya dengan nada gusar. Matanya menatap marah. Pesek hanya tersenyum kecil sambil meledek. Anak itu dipanggil Pesek sebab memang hidungnya pesek. Di dunia anak jalanan nama asli hampir tidak ada. Mereka dipanggil dengan nama palsu. Tidak ada satu anak pun marah kalau dipanggil dengan nama ejekan. Bila nama menunjukkan jati diri, maka mereka tampaknya ingin menyembunyikan jati dirinya. Nama mengingatkan mereka pada pemberi nama yaitu orang tua. Mungkin mereka ingin melupakan orang tua yang kejam dan sewenang-wenang yang telah mendorong mereka untuk hidup di jalanan.
“Jadi anak jangan suka ngeyel.” Kata anak yang memakai kaos Persebaya.
“Memang kenapa kalau ada rumah dari coklat?” tanyaku. Kulihat wajah ketiga anak itu. Wajah yang penuh debu dan hitam terbakar matahari. Mereka terdiam. Sebuah angkot berhenti lalu jalan kembali meninggalkan kepulan asap dan debu.
“Kan sayang mas coklat bisa dimakan kok dijadikan rumah.” Jawab Peyeng.
“Rumahnya nanti dimakan.” Jawab Pesek.
“Ah kamu sok tahu Sek,” potong Peyeng.
“Kalau gak dimakan apa mau dibuang?” tanya anak berkaos Persebaya.
“Kalau dibuang langsung kamu ambil Tri,” jawab Pesek.
“Bukan hanya Gotri tapi kalian pasti akan berebut,” jawabku. Mereka semua tertawa.
“Mas nanti hoyen ya,” kata Pesek. Hoyen adalah istilah bagi kami ketika mengambil nasi, ayam, burger dan soft drink yang dibuang di sampah oleh sebuah rumah makan cepat saji yang ada di plaza depan kami. Setiap jam 12 malam rumah makan itu membuang sisa makanan dan nasi serta ayam goreng yang tidak laku. Semua dimasukan dalam kantong-kantong plastik hitam yang besar dan dilemparkan dalam bak sampah plaza. Pada saat itu kami akan cepat-cepat mengambilinya, sebab takut ketahuan satpam rumah makan itu. Para satpam itu akan melarang bahkan memukul kami bila ketahuan mengambil sampah makanan itu.
“Ya.” Jawabku singkat. Pada awalnya aku agak jijik ketika ditawari oleh teman-teman di rumah singgah makanan dari hasil hoyen. Tapi mereka memaksa. Akhirnya aku jadi terbiasa juga untuk memakan sisa makanan.
“Mas apa coklat yang dibuat rumah ini sama dengan coklat yang pernah mas berikan?” tanya Peyeng masih penasaran dengan rumah coklat. Matanya yang lebar menatap erat foto rumah dari coklat.
“Mungkin, sebab aku sendiri belum pernah lihat.” Jawabku.
“Mas punya coklat lagi?” tanya Gotri
“Gak!” jawabku “Mahal rek!”.
“Kalau mahal kenapa dijadikan rumah-rumahan?” tanya Peyeng.
“Mereka kaya Yeng,” jawab Pesek. “Gak seperti kamu yang mlarat.” Gotri dan Pesek tertawa bersama. Peyeng hanya tersenyum kecut.
“Daripada dijadikan rumah-rumahan kan lebih baik dibawa ke rumah singgah.” Kata Peyeng, “Pasti kalian juga akan berebut.” Tawa mereka meledak kembali mengalahkan deru mobil dan motor yang bersliweran di depan kami.
“Jangankan satu rumah,” kata Gotri. “Satu genggam saja sudah senang.” Mereka tertawa hambar. Menungkapkan keinginan yang tak mungkin terpenuhi.

Suara deru kendaraan ramai di jalanan. Mereka saling berebut untuk menjadi yang terdepan. Derap kaki orang berjalan di trotoar terdengar silih berganti. Jarang sekali mereka yang lewat akan melihat kami. Satu dua orang berusaha berjalan menjauhi tempat kami duduk. Ada rasa takut dan jijik. Beberapa orang berusaha memalingkan muka seolah tidak ingin melihat kami. Bagi mereka kami adalah hal yang sudah biasa ada di tepi jalan. Seperti seongok sampah yang ada di tepi jalan.

Kami terus berbicara soal rumah dari coklat yang dipamerkan selama beberapa hari. Aneka analisa konyol meluncur dari mulut kami yang berbau busuk. Dari perut-perut yang menahan lapar dan mengimpikan ada makanan yang tersedia. Hasil mengamen tidak cukup untuk membeli sebungkus nasi. Dihadapan kami ada selembar kertas koran yang memberitakan ada rumah dari coklat.

Senin, 05 Oktober 2009

BERBICARA

Bila ada orang mau iseng dengan merekam seluruh apa yang dibicarakan atau katakan dalam sepanjang hari lalu memformatnya dalam bentuk CD, mungkin dalam satu bulan dia sudah mengumpulkan puluhan keping CD. Sejak pagi ketika bangun tidur sampai malam menjelang tidur banyak orang aktif berbicara entah secara langsung dalam arti berhadapan muka dengan orang yang diajak berbicara maupun secara tidak langsung yaitu dengan menggunakan piranti penunjang komunikasi misalnya HP, internet dan sebagainya. Belum lagi berbicara melalui tulisan seperti SMS, email, chatting dan sebagainya. Bila dikumpulkan mungkin dalam satu bulan sudah menulis berlembar-lembar dalam kertas ukuran folio. Seperti ada sebuah sumber informasi dalam diri manusia yang tidak ada habisnya untuk dialirkan kepada sesama.

Berbicara adalah perbuatan khusus manusia untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya melalui tanda-tanda dan suara. Merleau Ponty (1908-1961) seorang filsuf Perancis, menulis bahwa berbicara bukan hanya mengungkapkan pikiran dan perasaan tapi juga membentuk pikiran dan perasaan lawan bicara. Orang berbicara bisa dengan orang lain maupun dengan diri sendiri. Bahkan ketika kita mendengarkan orang lain berbicara pun kita dapat berbicara dengan diri sendiri. Dalam kesendirian pun kita berbicara dalam hati untuk mengenang atau mengulang apa yang sudah kita bicarakan atau membuat imaginasi sendiri mengenai apa yang akan kita bicarakan dengan lawan bicara yang kita ciptakan sendiri.

Melalui berbicara orang mengungkapkan diri sebagai pribadi yang memiliki pemikiran, perasaan, mampu mengenal dan menangkap apa yang dialaminya. Dia pun memiliki kreatifitas untuk mengolah data yang dia terima dan kemudian ditanggapi. Hal yang sering menimbulkan masalah dalam berbicara adalah bila orang keliru dalam mengolah data sehingga menjadi jaka sembung (istilah ejekan untuk orang yang tidak mampu mengkaitkan antara apa yang didengar dan diungkapkan). Atau salah menangkap atau kurang memahami apa yang didengar lalu mereaksinya. Dalam berbicara orang juga menunjukkan kebebasan untuk mengungkapkan pemikirannya. Hal yang menimbulkan masalah adalah bila dia lupa akan etika atau dia kurang menghargai kebebasan orang lain dalam berpendapat. Dia ingin menjejalkan pendapatnya sebagai kebenaran yang mutlak. Dalam budaya Jawa ada istilah tepo sliro (toleransi atau memahami masalah orang lain) dan bisa rumongso (menjaga perasaan), namun bila orang merasa benar hal ini akan diabaikan. Dia berbicara seperti menuangkan apa saja tanpa bertimbang dengan situasi sekitar atau siapa yang diajak berbicara.

“Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk.” (Yak 3:9-10). Surat Yakobus adalah surat pastoral dimana dia berusaha menjabarkan iman yang terwujud nyata dalam perbuatan. Iman bukan hanya sekedar berdoa melainkan juga terungkap dalam tindakan. Dia mempertanyakan bagaimana mungkin orang yang suka berdoa tapi juga suka mengutuki atau berbicara buruk tentang sesamanya. Doa bukan hanya memuji Allah tapi juga memuji seluruh ciptaanNya. Memuji Allah terkait erat dengan memuji ciptaanNya apalagi manusia yang merupakan gambaran diri Allah.

Setiap hari kita berbicara, tapi apakah kita pernah menilai berapa persen pembicaraan kita yang sungguh merupakan pujian dan mengembangkan sesama dan berapa persen yang berisi hujat dan menyakiti hati orang? Berapa persen pembicaraan kita sungguh bermutu dan berapa persen yang merupakan sampah? Seringkali orang sulit untuk mengendalikan dirinya sehingga dia dengan ringannya berbicara meski sadar bahwa apa yang dia bicarakan adalah sesuatu yang tidak berguna bagi sesamanya. “Jika ada orang yang berbicara, baiklah ia berbicara sebagai orang yang menyampaikan firman Allah;” (1 Ptr 4:11). Bila orang sungguh ingin menjalankan ayat ini mungkin akan banyak orang menjadi pendiam dan hanya berbicara dengan dirinya sendiri.

Powered By Blogger