Seorang anak berusia sekitar 10 tahunan duduk di sudut ruang. Wajahnya muram dan kotor. Tatapan matanya kosong. Kakinya yang kurus ditekuk untuk menutupi dadanya. Bajunya kumal entah sudah berapa lama tidak dicuci. Dia tidak berbicara satu katapun meski semua temannya ribut berbicara. Tidak ada senyum di bibirnya meski anak yang lain tertawa keras. Dia hanya menatapku tanpa ekspresi. Matanya yang berkedip dan gerakan bahunya ketika bernafas menunjukkan bahwa dia bukan sebuah patung. Sesaat aku tidak memperhatikan keadaannya. Aku berpikir dia anak baru, sehingga masih asing dengan situasi di rumah ini. Tapi setelah beberapa lama aku mulai heran. Mengapa dia dapat duduk tanpa ekspresi seperti itu?
Aku duduk di sebelahnya. Sambil menyapanya kutepuk-tepuk bahunya. Dia menatap dengan sorot mata marah. Aku terkejut dan menghentikan lenganku. Sesaat kami hanya saling menatap. Dia lalu berdiri keluar ruangan. Jalannya agak pincang. Setelah beberapa saat aku keluar berusaha menyapa lagi anak itu. Dia duduk di dekat pintu pagar dengan posisi seperti semula. Kusapa sekali lagi dan kuajak ke warung untuk beli makanan dan minuman. Sambil berjalan aku berusaha untuk berbicara padanya, meski jawabannya tidak lebih dari satu kata. Ketika duduk di warung pun aku berusaha bercerita tentang apa saja. Tentang perjuangan hidup, ketabahan, kesabaran dan entah apa lagi yang melintas di pikiranku. Aku hanya ingin berbicara untuk membangun relasi.
Tiba-tiba dia menggenggam lenganku. Matanya berkaca-kaca. Nafasnya berpacu. Ada gumpalan dalam dada yang hendak meletus. Aku mengajaknya menyingkir dari warung yang penuh dengan orang. Lenganku kulingkarkan di bahunya. Kami berjalan dalam diam. Dia tiba-tiba berkata dengan suara parau menahan tangis. “Andaikan sampean adalah bapakku.” Akhirnya dia berbicara lebih dari satu kata. Kami terus berjalan dalam diam. Sesaat kemudian aku mengajaknya duduk di trotoar. Dia menangis tertahan. Aku hanya diam menunggu sambil tetap memeluknya. Dia lalu bercerita hidupnya yang penuh penderitaan. Kakinya menjadi cacat karena dipukuli oleh bapaknya pakai ikat pinggang dan terkena kepala ikat pinggang yang terbuat dari besi. Tulang pahanya patah dan tidak pernah diobati sehingga dia menjadi cacat. Setelah mampu berjalan dia minggat dari rumah dan menggelandang di kota ini sampai bertemu teman-teman.
Mendengar semua ceritanya aku menjadi tertegun. Bagaimana mungkin seorang bapak dapat menyiksa anaknya yang masih kecil sedemikian rupa sehingga mengalami cacat permanen? Dia ada di dunia bukan keinginannya, tetapi sebagai buah cinta dari orang tuanya. Bila memang orang tua tidak menghendaki anak, maka seharusnya mereka memakai alat kontrasepsi sebelum melakukan hubungan seksual. Bila mereka tidak menggunakan alat kontrasepsi maka mereka harus bertanggungjawab terhadap anak mereka. Tanggungjawab terbesar dari orang tua adalah mengasihi anaknya dengan sepenuh hati, jiwa dan raganya. Bukan hanya memberi makan dan fasilitas saja. Saat ini semakin banyak orang tua yang tidak bertanggungjawab terhadap anaknya. Mereka merusak anak-anaknya sendiri dengan sikap hidupnya yang kasar dan keras.
Anak adalah “ciptaan” orang tua. Dia ada karena orang tua ingin menciptakan mereka. Dalam ajaran Katolik seks adalah ungkapan cinta yang terdalam dari perempuan dan lelaki yang bertujuan untuk prokreasi bukan hanya sekedar rekreasi. Memang tidak semua ciptaan dapat sesuai dengan yang diharapkan, tapi bagaimanapun juga mereka buah dari kasih suami istri. Teman kecilku ini menjadi salah satu dari ribuan anak yang tidak diharapkan oleh orang tuanya, sehingga diperlakukan sewenang-wenang. Bila kita merasa terhina dan marah bila ciptaan kita dihina orang lain tapi mengapa orang tua dapat tidak menghargai ciptaan yang diciptakannya sendiri? Anak bukan ciptaan yang terpisah seperti lukisan yang terpisah dari pelukisnya. Di dalam diri anak ada sebagian diri orang tuanya. Maka menghina anak berarti orang menghina dirinya sendiri. Tapi kasih yang tulus dan pengayoman memang menjadi impian dan sesuatu yang sangat mahal bagi banyak anak pada jaman ini.
Aku duduk di sebelahnya. Sambil menyapanya kutepuk-tepuk bahunya. Dia menatap dengan sorot mata marah. Aku terkejut dan menghentikan lenganku. Sesaat kami hanya saling menatap. Dia lalu berdiri keluar ruangan. Jalannya agak pincang. Setelah beberapa saat aku keluar berusaha menyapa lagi anak itu. Dia duduk di dekat pintu pagar dengan posisi seperti semula. Kusapa sekali lagi dan kuajak ke warung untuk beli makanan dan minuman. Sambil berjalan aku berusaha untuk berbicara padanya, meski jawabannya tidak lebih dari satu kata. Ketika duduk di warung pun aku berusaha bercerita tentang apa saja. Tentang perjuangan hidup, ketabahan, kesabaran dan entah apa lagi yang melintas di pikiranku. Aku hanya ingin berbicara untuk membangun relasi.
Tiba-tiba dia menggenggam lenganku. Matanya berkaca-kaca. Nafasnya berpacu. Ada gumpalan dalam dada yang hendak meletus. Aku mengajaknya menyingkir dari warung yang penuh dengan orang. Lenganku kulingkarkan di bahunya. Kami berjalan dalam diam. Dia tiba-tiba berkata dengan suara parau menahan tangis. “Andaikan sampean adalah bapakku.” Akhirnya dia berbicara lebih dari satu kata. Kami terus berjalan dalam diam. Sesaat kemudian aku mengajaknya duduk di trotoar. Dia menangis tertahan. Aku hanya diam menunggu sambil tetap memeluknya. Dia lalu bercerita hidupnya yang penuh penderitaan. Kakinya menjadi cacat karena dipukuli oleh bapaknya pakai ikat pinggang dan terkena kepala ikat pinggang yang terbuat dari besi. Tulang pahanya patah dan tidak pernah diobati sehingga dia menjadi cacat. Setelah mampu berjalan dia minggat dari rumah dan menggelandang di kota ini sampai bertemu teman-teman.
Mendengar semua ceritanya aku menjadi tertegun. Bagaimana mungkin seorang bapak dapat menyiksa anaknya yang masih kecil sedemikian rupa sehingga mengalami cacat permanen? Dia ada di dunia bukan keinginannya, tetapi sebagai buah cinta dari orang tuanya. Bila memang orang tua tidak menghendaki anak, maka seharusnya mereka memakai alat kontrasepsi sebelum melakukan hubungan seksual. Bila mereka tidak menggunakan alat kontrasepsi maka mereka harus bertanggungjawab terhadap anak mereka. Tanggungjawab terbesar dari orang tua adalah mengasihi anaknya dengan sepenuh hati, jiwa dan raganya. Bukan hanya memberi makan dan fasilitas saja. Saat ini semakin banyak orang tua yang tidak bertanggungjawab terhadap anaknya. Mereka merusak anak-anaknya sendiri dengan sikap hidupnya yang kasar dan keras.
Anak adalah “ciptaan” orang tua. Dia ada karena orang tua ingin menciptakan mereka. Dalam ajaran Katolik seks adalah ungkapan cinta yang terdalam dari perempuan dan lelaki yang bertujuan untuk prokreasi bukan hanya sekedar rekreasi. Memang tidak semua ciptaan dapat sesuai dengan yang diharapkan, tapi bagaimanapun juga mereka buah dari kasih suami istri. Teman kecilku ini menjadi salah satu dari ribuan anak yang tidak diharapkan oleh orang tuanya, sehingga diperlakukan sewenang-wenang. Bila kita merasa terhina dan marah bila ciptaan kita dihina orang lain tapi mengapa orang tua dapat tidak menghargai ciptaan yang diciptakannya sendiri? Anak bukan ciptaan yang terpisah seperti lukisan yang terpisah dari pelukisnya. Di dalam diri anak ada sebagian diri orang tuanya. Maka menghina anak berarti orang menghina dirinya sendiri. Tapi kasih yang tulus dan pengayoman memang menjadi impian dan sesuatu yang sangat mahal bagi banyak anak pada jaman ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar