Aku sekolah di SMA negeri. Aku masuk sini karena kakakku mengatakan ini sekolah bagus dan terkenal. Terpaksa aku berpisah dengan para sahabat SMP sebab mereka memilih sekolah lain. Aku menjadi asing diantara 450 lebih murid baru, yang pada umumnya dari sekolah-sekolah yang sama. Dari 450 murid baru itu hanya ada sekitar 15 an murid yang beragama Katolik. Salah satu teman adalah anak tokoh agama yang sangat suka sekali memprovokasi teman lain untuk menyerang agama Katolik. Aku menyadari bahwa pengetahuan agamaku sangat dangkal, sebab memang aku tidak pernah mempelajari agama Katolik secara serius. Pelajaran agama di sekolah sangat tidak efektif, sebab pelajaran agama diberikan untuk ratusan murid dari sekitar 11 sekolah SMA negeri dan swasta oleh seorang guru agama. Kami hanya sekedar mengisi daftar hadir saja.
Suatu hari ketika istirahat kami berdebat soal agama. Suatu tindakan yang tidak ada gunanya, sebab tidak memperdalam iman atau juga tidak menambah wawasan selain menimbulkan hati yang panas. Kami hanya ingin menunjukkan bahwa agama kami yang paling benar dan hebat. Perdebatan itu didengar oleh banyak teman. Akhirnya aku menantang mereka untuk menunjukkan siapa tokoh mereka yang dianggap orang baik pada jaman itu oleh dunia. Pertanyaan ini membuat mereka bungkam, sebab memang sulit mencari tokoh yang dianggap baik oleh seluruh dunia. Tokoh yang sering diliput oleh media adalah tokoh revolusioner yang menyandera dan berperang melawan negara yang beragama sama meski beda aliran. Aku menunjukkan Ibu Teresa dari Kalkuta yang memberikan diri untuk merawat orang kusta dan orang miskin lain yang sudah mendekati ajal. Perdebatan diakhiri oleh bunyi bel masuk setelah istirahat.
Suatu hari aku pulang bersama beberapa teman naik bis kota. Di dalam bis kota ada 4 orang kusta. Dua lelaki dan dua perempuan. Wajah dan tubuh mereka telah rusak. Hidung mereka berlubang besar. Beberapa jemari tangan dan kaki mereka telah putus dan dibalut oleh kain yang kotor dan basah. Seorang teman yang pernah mendengar aku berdebat dia berkata dengan sinis, apakah aku berani menjamah orang kusta itu. Disinilah timbul pergolakan dalam diri. Aku jijik melihat mereka. Tapi aku tidak mungkin mengatakan tidak, sebab berarti aku hanya mampu berbicara. Aku tidak mampu membuktikan kekatolikan dan semua yang pernah kukatakan dengan penuh rasa bangga tentang sikap orang Katolik yang penuh belas kasih. Keringat dingin meleleh di punggung dan telapak tanganku. Teman-teman semakin bersemangat mengejek. Aku dalam persimpangan. Tidak tahu mana jalan yang harus kupilih. Dalam hati aku mulai berdoa semoga Tuhan memberi jalan.
Pada sebuah pemberhentian keempat orang itu akan turun. Bis kota tidak berhenti dengan baik seperti biasanya bis kota yang selalu terburu-buru. Dua orang sudah berhasil turun tapi ketika orang ketiga dan keempat akan turun bis sudah bergerak akan berjalan kembali. Tangan mereka yang sudah kehilangan beberapa jari tidak mampu memegang besi pegangan dengan baik, sehingga mereka akan terjatuh. Tanpa sadar aku meraih tangan mereka dan menuntun mereka turun dengan selamat. Apa yang kulakukan hanya sebuah gerak refleks melihat orang yang akan jatuh. Tidak ada niat dalam hati untuk menolong mereka. Melihat wajahnya saja aku sudah jijik apalagi harus memegangnya yang memungkinkan aku tertular sakit kusta. Tapi teman-teman semua terdiam melihat apa yang kulakukan. Sejak itu mereka tidak lagi mengejekku.
Penulis Yakobus menulis bahwa dari perbuatanlah seseorang dapat dinilai imannya atau perbuatan menentukan iman dan keselamatan. Yesus pun bersabda bahwa orang yang termasuk pengikutNya bila dia mampu melakukan tindakan belas kasih. Bukan orang yang hanya mampu berseru “Tuhan.. Tuhan” tapi orang yang mendengarkan Sabda dan melaksanakannya. Inilah tantangan bagi orang Katolik. Pembuktian iman bukan melalui debat-debat yang tidak berujung melainkan perbuatan nyata yang dapat membahagiakan orang lain terutama kaum miskin dan menderita.
Suatu hari ketika istirahat kami berdebat soal agama. Suatu tindakan yang tidak ada gunanya, sebab tidak memperdalam iman atau juga tidak menambah wawasan selain menimbulkan hati yang panas. Kami hanya ingin menunjukkan bahwa agama kami yang paling benar dan hebat. Perdebatan itu didengar oleh banyak teman. Akhirnya aku menantang mereka untuk menunjukkan siapa tokoh mereka yang dianggap orang baik pada jaman itu oleh dunia. Pertanyaan ini membuat mereka bungkam, sebab memang sulit mencari tokoh yang dianggap baik oleh seluruh dunia. Tokoh yang sering diliput oleh media adalah tokoh revolusioner yang menyandera dan berperang melawan negara yang beragama sama meski beda aliran. Aku menunjukkan Ibu Teresa dari Kalkuta yang memberikan diri untuk merawat orang kusta dan orang miskin lain yang sudah mendekati ajal. Perdebatan diakhiri oleh bunyi bel masuk setelah istirahat.
Suatu hari aku pulang bersama beberapa teman naik bis kota. Di dalam bis kota ada 4 orang kusta. Dua lelaki dan dua perempuan. Wajah dan tubuh mereka telah rusak. Hidung mereka berlubang besar. Beberapa jemari tangan dan kaki mereka telah putus dan dibalut oleh kain yang kotor dan basah. Seorang teman yang pernah mendengar aku berdebat dia berkata dengan sinis, apakah aku berani menjamah orang kusta itu. Disinilah timbul pergolakan dalam diri. Aku jijik melihat mereka. Tapi aku tidak mungkin mengatakan tidak, sebab berarti aku hanya mampu berbicara. Aku tidak mampu membuktikan kekatolikan dan semua yang pernah kukatakan dengan penuh rasa bangga tentang sikap orang Katolik yang penuh belas kasih. Keringat dingin meleleh di punggung dan telapak tanganku. Teman-teman semakin bersemangat mengejek. Aku dalam persimpangan. Tidak tahu mana jalan yang harus kupilih. Dalam hati aku mulai berdoa semoga Tuhan memberi jalan.
Pada sebuah pemberhentian keempat orang itu akan turun. Bis kota tidak berhenti dengan baik seperti biasanya bis kota yang selalu terburu-buru. Dua orang sudah berhasil turun tapi ketika orang ketiga dan keempat akan turun bis sudah bergerak akan berjalan kembali. Tangan mereka yang sudah kehilangan beberapa jari tidak mampu memegang besi pegangan dengan baik, sehingga mereka akan terjatuh. Tanpa sadar aku meraih tangan mereka dan menuntun mereka turun dengan selamat. Apa yang kulakukan hanya sebuah gerak refleks melihat orang yang akan jatuh. Tidak ada niat dalam hati untuk menolong mereka. Melihat wajahnya saja aku sudah jijik apalagi harus memegangnya yang memungkinkan aku tertular sakit kusta. Tapi teman-teman semua terdiam melihat apa yang kulakukan. Sejak itu mereka tidak lagi mengejekku.
Penulis Yakobus menulis bahwa dari perbuatanlah seseorang dapat dinilai imannya atau perbuatan menentukan iman dan keselamatan. Yesus pun bersabda bahwa orang yang termasuk pengikutNya bila dia mampu melakukan tindakan belas kasih. Bukan orang yang hanya mampu berseru “Tuhan.. Tuhan” tapi orang yang mendengarkan Sabda dan melaksanakannya. Inilah tantangan bagi orang Katolik. Pembuktian iman bukan melalui debat-debat yang tidak berujung melainkan perbuatan nyata yang dapat membahagiakan orang lain terutama kaum miskin dan menderita.
wow..
BalasHapusnny
memang betul, iman perlu pembuktian dan itu menjadi kesaksian buat orang di sekitar kita...
BalasHapus