Bagi banyak orang di Jawa hari raya Lebaran merupakan salah satu hari yang sangat dinantikan. Waktu kecil dulu aku juga sangat menantikan hari Lebaran, sebab pada hari ini berarti aku dapat pakaian baru, ibu memotong ayam dan membuat kue-kue. Suatu yang sangat jarang terjadi pada hari biasa. Malam hari bisa menyalakan petasan atau kembang api. Pagi hari aku dan teman-teman sudah siap datang ke rumah-rumah tetangga untuk memberi selamat lebaran dan pulang mendapat uang serta kue. Setelah sholat Ied di lapangan acara mengunjungi rumah tetangga dimulai. Memakai pakaian baru, sandal baru dan mengantongi uang yang cukup banyak bagi ukuran kami anak desa yang miskin merupakan kebahagiaan tersendiri.
Lebaran adalah hari yang membahagiakan bagi banyak orang. Aku ingat dulu beberapa tetangga datang dari Jakarta dengan pakaian dan barang yang bagus-bagus. Mereka berbicara seperti orang Jakarta. Berbagai perhiasan menempel di tubuh para gadis yang bekerja di ibu kota. Sepanjang hari suasana desa yang sepi menjadi riuh oleh tawa dan percakapan orang. Kami tidak mempersoalkan apakah pada masa puasa mereka ikut menjalankan ibadah puasa atau tidak. Apakah mereka juga menjalankan sholat pada hari jumat atau tidak. Tidak pernah satu orang pun bertanya akan hal itu. Lebaran yang merupakan hari suka cita atas kemenangan mengendalikan hawa nafsu selama masa puasa bergeser menjadi hari bahagia sebab bisa berkumpul keluarga, makan enak dan pakaian baru.
Tapi lebaran kali ini aku bertemu dengan wajah-wajah suram. Beberapa hari sebelum lebaran aku berkumpul dengan beberapa teman yang rumahnya berada di bibir sungai. Ada sekitar 200 kepala keluarga yang tinggal berhimpitan di sepanjang bibir sungai. Mereka adalah kaum miskin dengan aneka profesi. Ada pemulung, PSK kelas teri, pengamen, pengemis, kuli bangunan dan sebagainya. Beberapa hari ini mereka digelisahkan oleh isyu penggusuran. Perkampungan di diseberang sungai sudah dihancurkan setahun lalu. Rencananya pemerintah kota akan segera menggusur perkampungan ini. Isyu yang berkembang diantara mereka bahwa pada saat lebaran dimana semua penghuni kampung pergi semua, maka kampung akan dibakar. Isyu ini sangat menggelisahkan hati, sebab bila kampung mereka digusur maka mereka tidak tahu harus kemana pergi dan mendirikan rumahnya.
Maka kami berkumpul di mushola dan merencanakan bagaimana mempertahankan kampung ini. Mereka sepakat tidak akan mudik tapi secara bergiliran menjaga kampung untuk itu perlu mendirikan posko. Kami juga menyusun beberapa agenda kegiatan sebagai antisipasi penggusuran dan perjuangan mempertahankan kampung. Lebaran dimana merupakan hari membahagiakan menjadi saat yang mendebarkan. Saat yang dapat menentukan akhir dari perkampungan mereka yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun. Mereka cemas sebab bila sampai penggusuran itu terjadi maka mereka tidak tahu harus tinggal dimana lagi. Mereka tidak mungkin kembali ke desa. Mereka meninggalkan desa, sebab di desa mereka tidak mempunyai penghasilan untuk menunjang kehidupan. Di kota ini meski hanya menjadi pemulung atau pengamen mereka memperoleh penghasilan untuk menyambung hidup.
Kaum miskin sering tidak dapat menikmati hari kemenangan ini. Bukan hanya penduduk kampung itu yang hanya mampu melihat gebyar lebaran di televisi. Melihat orang bersuka cita menikmati pakaian baru dan makanan enak serta rumah penuh kue-kue. Masih banyak ribuan bahkan jutaan orang miskin yang merasa bahwa lebaran bukan hari kemenangan dan kesukacitaannya. Lebaran dilalui dengan kecemasan dan ketidakpunyaan banyak hal. Mereka hanya menonton orang bersuka cita. Dalam dunia saat ini agama sering dibungkus oleh kenikmatan dan kemewahan sehingga menjadi jauh dari masyarakat miskin. Lebaran yang menjadi hari kemenangan lebih menonjol pada tawaran kenikmatan daripada hakekat kemenangan itu sendiri. Natal pun sama saja. kehadiran Yesus yang harusnya menjadi suka cita sebab jaman keselamatan bagi orang miskin sudah datang menjadi saat mengumbar kenikmatan. Akibatnya kaum miskin tidak melihat pembebasan dan kemenangan itu. Selamat Lebaran..
Lebaran adalah hari yang membahagiakan bagi banyak orang. Aku ingat dulu beberapa tetangga datang dari Jakarta dengan pakaian dan barang yang bagus-bagus. Mereka berbicara seperti orang Jakarta. Berbagai perhiasan menempel di tubuh para gadis yang bekerja di ibu kota. Sepanjang hari suasana desa yang sepi menjadi riuh oleh tawa dan percakapan orang. Kami tidak mempersoalkan apakah pada masa puasa mereka ikut menjalankan ibadah puasa atau tidak. Apakah mereka juga menjalankan sholat pada hari jumat atau tidak. Tidak pernah satu orang pun bertanya akan hal itu. Lebaran yang merupakan hari suka cita atas kemenangan mengendalikan hawa nafsu selama masa puasa bergeser menjadi hari bahagia sebab bisa berkumpul keluarga, makan enak dan pakaian baru.
Tapi lebaran kali ini aku bertemu dengan wajah-wajah suram. Beberapa hari sebelum lebaran aku berkumpul dengan beberapa teman yang rumahnya berada di bibir sungai. Ada sekitar 200 kepala keluarga yang tinggal berhimpitan di sepanjang bibir sungai. Mereka adalah kaum miskin dengan aneka profesi. Ada pemulung, PSK kelas teri, pengamen, pengemis, kuli bangunan dan sebagainya. Beberapa hari ini mereka digelisahkan oleh isyu penggusuran. Perkampungan di diseberang sungai sudah dihancurkan setahun lalu. Rencananya pemerintah kota akan segera menggusur perkampungan ini. Isyu yang berkembang diantara mereka bahwa pada saat lebaran dimana semua penghuni kampung pergi semua, maka kampung akan dibakar. Isyu ini sangat menggelisahkan hati, sebab bila kampung mereka digusur maka mereka tidak tahu harus kemana pergi dan mendirikan rumahnya.
Maka kami berkumpul di mushola dan merencanakan bagaimana mempertahankan kampung ini. Mereka sepakat tidak akan mudik tapi secara bergiliran menjaga kampung untuk itu perlu mendirikan posko. Kami juga menyusun beberapa agenda kegiatan sebagai antisipasi penggusuran dan perjuangan mempertahankan kampung. Lebaran dimana merupakan hari membahagiakan menjadi saat yang mendebarkan. Saat yang dapat menentukan akhir dari perkampungan mereka yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun. Mereka cemas sebab bila sampai penggusuran itu terjadi maka mereka tidak tahu harus tinggal dimana lagi. Mereka tidak mungkin kembali ke desa. Mereka meninggalkan desa, sebab di desa mereka tidak mempunyai penghasilan untuk menunjang kehidupan. Di kota ini meski hanya menjadi pemulung atau pengamen mereka memperoleh penghasilan untuk menyambung hidup.
Kaum miskin sering tidak dapat menikmati hari kemenangan ini. Bukan hanya penduduk kampung itu yang hanya mampu melihat gebyar lebaran di televisi. Melihat orang bersuka cita menikmati pakaian baru dan makanan enak serta rumah penuh kue-kue. Masih banyak ribuan bahkan jutaan orang miskin yang merasa bahwa lebaran bukan hari kemenangan dan kesukacitaannya. Lebaran dilalui dengan kecemasan dan ketidakpunyaan banyak hal. Mereka hanya menonton orang bersuka cita. Dalam dunia saat ini agama sering dibungkus oleh kenikmatan dan kemewahan sehingga menjadi jauh dari masyarakat miskin. Lebaran yang menjadi hari kemenangan lebih menonjol pada tawaran kenikmatan daripada hakekat kemenangan itu sendiri. Natal pun sama saja. kehadiran Yesus yang harusnya menjadi suka cita sebab jaman keselamatan bagi orang miskin sudah datang menjadi saat mengumbar kenikmatan. Akibatnya kaum miskin tidak melihat pembebasan dan kemenangan itu. Selamat Lebaran..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar