Jumat, 03 September 2010

MENTALITAS INLANDER

Suara seorang perempuan memberitahu bahwa semua penumpang diharap mematikan telepon selular dan segala peralatan eletronik, memakai sabuk pengaman, melipat meja, membuka tirai di jendela dan sebagainya. Pemberitahuan standar sebelum pesawat tinggal landas. Dua baris di depanku duduk seorang perempuan berambut pirang dengan dandanan ala kadarnya. Earphone menempel di telinganya. Tangannya sibuk menekan-nekan layar telepon selular. Dia tidak peduli dengan peringatan agar mematikan semua peralatan elektronik. Padahal juga diucapkan dalam bahasa Inggris. Beberapa pramugari yang berlalu lalang memeriksa kesiapan terbang seolah tidak melihat perempuan yang sibuk dengan telepon selularnya. Sampai pesawat mendarat orang itu terus sibuk dengan telepon selularnya. Tidak ada satupun pramugari yang menegurnya. Tapi bila yang melakukan hal yang sama adalah penumpang Indonesia maka pramugari akan segera menegurnya.

Kejadian semacam ini sudah sering aku lihat. Di sebuah supermarket ada tulisan besar agar pengunjung melepas jaketnya. Tapi seorang turis memakai jaket dibiarkan saja berjalan hilir mudik diantara deretan barang. Satpam dan pegawai supermarket hanya melihat saja. Tidak ada satu orang pun yang berusaha menegurnya. Seolah seorang berwajah asing dapat berbuat sesuka hatinya. Melanggar aturan yang sudah tertulis. Di negara kita tidak jarang orang asing menjadi orang yang mendapat prioritas dan perlakuan khusus. Seorang teman mengatakan bahwa itu sebuah kebijakan untuk menarik turis. Mereka adalah tamu yang perlu dihormati.

Bagiku hal ini bukan soal tamu atau turis, tapi lebih pada mentalitas kita. Banyak orang dan mungkin hampir seluruh penduduk negara ini masih bermental seorang inlander, pribumi. Inlander adalah sebutan yang diberikan oleh Belanda pada saat mereka menjajah negara ini untuk membedakan dalam arti merendahkan bangsa Indonesia. Belanda bukan hanya merendahkan dengan sebutan tapi juga berhasil untuk membentuk mentalitas bangsa kita menjadi bangsa rendah atau istilah saat kasarnya menjadi bangsa jongos. Beda dengan Inggris yang menghargai bangsa India meski mereka menjajahnya. Ratu Elisabet sangat menghargai Gandhi, bahkan dia pernah mengatakan bahwa hadiah yang paling berharga yang pernah diterimanya adalah kain tenunan hasil karya Mahatma Gandhi. Ratu juga mengundang Gandhi ke istananya. Sedangkan belum pernah sekalipun Soekarno diundang ratu Belanda untuk duduk di istananya. Perlakuan yang merendahkan selama berabad-abad membentuk mentalitas bangsa kita sampai saat ini. Maka turis yang melanggar pun tidak ditegur.

Mentalitas inlander membuat kita menjadi bangsa yang rendah diri, takut bersaing, kurang percaya diri, dan silau terhadap kesuksesan orang (bangsa) lain. Sikap ini terus terpelihara secara kolektif dan tidak pernah kita sadari pengaruhnya, penyakit ini mendorong pada sikap mental yang destruktif misalnya malas, boros, korup, tidak disiplin. Amin Rais dalam buku Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia, menyoroti bahwa kegagalan bangsa ini disebabkan mentalitas inlander, maka perlu reformasi dan perubahan mulai dari pemimpinnya. Konflik dengan Malaysia merupakan salah satu bukti akan kuatnya mentalitas inlander ini. Sudah berulang kali Malaysia melukai harga diri bangsa kita, tapi tidak ada sebuah tindakan yang menunjukkan bahwa kita adalah bangsa bermartabat. Sebaliknya di dalam negara sangat penuh dengan korupsi dan tindakan yang tidak menunjukkan harga diri. Para pejabat tanpa malu memboroskan uang rakyat untuk gedung yang megah, mobil dinas, rekreasi ke luar negeri dengan alasan studi banding dan sebagainya.

Kita sudah merdeka 65 tahun tapi belum mampu mengubah mentalitas kita sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Bangsa yang mempunyai harga diri dan sejajar dengan bangsa lain dimanapun di dunia ini. Kita masih menjadi bangsa bermentalitas inlander yang menghargai orang asing secara berlebihan, sebab kita masih merasa bahwa kita adalah jongos penjajah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger