Ketika pertama kali datang ke Surabaya dari Bogor ada dua orang yang sangat menarik perhatianku. Pertama adalah Cak Miskun, seorang lelaki yang jalannya khas, sering memukul gong kecil keluar masuk kampung untuk memberitahu kalau ada orang yang meninggal dunia. Seolah dia selalu tahu dimana saja kalau ada orang meninggal dunia. Kedua, adalah seorang bapak bertubuh tinggi besar dan berjualan pluntir yaitu jajan yang terbuat dari singkong diparut dan campur gula merah lalu dibungkus daun pisang. Dengan suara berat dia menawarkan jajanannya. Ciri khas bapak itu ialah dia selalu menawarkan jualannya dengan berkata, “Panganan, panganane wong urip” (makanan, makanannya orang hidup). Aku tidak pernah membeli, sebab orang itu tampak kotor.
Dua orang ini aku anggap orang yang unik. Satu orang selalu mewartakan kematian, sedang yang lain menawarkan makanan untuk orang hidup. Memang semua makanan dibuat untuk orang yang hidup, sebab orang mati tidak membutuhkan makanan. Meski ada pula tradisi orang yang memberi makan pada arwah. Ibu beberapa kali meletakkan segelas kopi, rokok, kue-kue dan segelas air yang diberi bunga-bunga untuk para arwah leluhur. Hal yang sama juga dilakukan oleh banyak orang yang mentaati budaya Jawa. Kadang aku dan saudara-saudaraku meminum kopi itu sedikit. Esok harinya ibu akan mengatakan bahwa semalam arwah leluhur datang dan minum kopi.
Hidup manusia adalah perjalanan dari kelemahan pada saat lahir menuju kelemahan pada saat tua. Dari ketiadaan sebelum lahir menjadi ketiadaan setelah meninggal. Diantara dua titik itu manusia berusaha mempertahankan hidupnya dan mengisinya dengan segala aktifitas. Kita berusaha mempertahankan hidup dengan membangun kekuatan dan mekanisme pembelaan diri yang muncul dari segala ketakutan dan kekuatiran. Kita pun berusaha menikmati hidup sampai akhirnya terdengar suara gong Cak Miskun yang mewartakan kepada banyak orang bahwa kita mati.
Yesus bersabda "Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi.” (Yoh 6:35). Yesus adalah roti hidup. Bukan roti makanan orang hidup yang hanya untuk mempertahankan diri agar tidak mati kelaparan. Yesus adalah roti yang memberi hidup kekal. Menurut William Barclay orang Yahudi percaya bahwa Mesias akan memberi roti seperti Musa yang memberi manna, maka Yesus mengingatkan bahwa bukan Musa yang memberi manna melainkan Allah. Kini Allah tidak lagi memberi manna melainkan PutraNya untuk memberi hidup yang kekal. Pemberian diri Yesus bukan berarti kita memakanNya seperti makan roti, melainkan menghayati dan menyimpan Yesus dalam hati, seperti memakan Taurat. “Lalu firman-Nya kepadaku: "Hai anak manusia, makanlah gulungan kitab yang Kuberikan ini kepadamu dan isilah perutmu dengan itu." Lalu aku memakannya dan rasanya manis seperti madu dalam mulutku.” (Yeh 3:3).
Memakan Yesus berarti menyatukan diri dengan Yesus. Dia hidup dalam kita dan kita dalam Dia. “Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku.” (Yoh 6:57). Hidup dalam Yesus membuat kita menjadi kuat. Tidak lagi membutuhkan mekanisme pembelaan atau pertahanan diri. Atau mengejar kehebatan untuk membuktikan diri. Seperti kata Rasul Paulus. “Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus,” (Flp 3:8) Menyatu dengan Kristus membuat kita berusaha sedekat mungkin dengan apa yang dilakukan oleh Kristus. Dia datang untuk sesama terlebih yang miskin dan menderita. Maka kita pun didorong ke arah yang sama. Kita menjadi roti hidup. Roti yang memberi kehidupan bukan sebagai roti bagi orang yang hidup yang dimakan lalu dibuang ke jamban, tapi roti yang dapat membangkitkan semangat orang yang putus asa dan mati jiwanya. Kita menawarkan pada semua orang bukan “pangan wong urip” melainkan “panganan sing nggawe urip” (makanan yang membuat hidup) sampai cak Miskun memukul gong di setiap jalanan kampung.
Dua orang ini aku anggap orang yang unik. Satu orang selalu mewartakan kematian, sedang yang lain menawarkan makanan untuk orang hidup. Memang semua makanan dibuat untuk orang yang hidup, sebab orang mati tidak membutuhkan makanan. Meski ada pula tradisi orang yang memberi makan pada arwah. Ibu beberapa kali meletakkan segelas kopi, rokok, kue-kue dan segelas air yang diberi bunga-bunga untuk para arwah leluhur. Hal yang sama juga dilakukan oleh banyak orang yang mentaati budaya Jawa. Kadang aku dan saudara-saudaraku meminum kopi itu sedikit. Esok harinya ibu akan mengatakan bahwa semalam arwah leluhur datang dan minum kopi.
Hidup manusia adalah perjalanan dari kelemahan pada saat lahir menuju kelemahan pada saat tua. Dari ketiadaan sebelum lahir menjadi ketiadaan setelah meninggal. Diantara dua titik itu manusia berusaha mempertahankan hidupnya dan mengisinya dengan segala aktifitas. Kita berusaha mempertahankan hidup dengan membangun kekuatan dan mekanisme pembelaan diri yang muncul dari segala ketakutan dan kekuatiran. Kita pun berusaha menikmati hidup sampai akhirnya terdengar suara gong Cak Miskun yang mewartakan kepada banyak orang bahwa kita mati.
Yesus bersabda "Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi.” (Yoh 6:35). Yesus adalah roti hidup. Bukan roti makanan orang hidup yang hanya untuk mempertahankan diri agar tidak mati kelaparan. Yesus adalah roti yang memberi hidup kekal. Menurut William Barclay orang Yahudi percaya bahwa Mesias akan memberi roti seperti Musa yang memberi manna, maka Yesus mengingatkan bahwa bukan Musa yang memberi manna melainkan Allah. Kini Allah tidak lagi memberi manna melainkan PutraNya untuk memberi hidup yang kekal. Pemberian diri Yesus bukan berarti kita memakanNya seperti makan roti, melainkan menghayati dan menyimpan Yesus dalam hati, seperti memakan Taurat. “Lalu firman-Nya kepadaku: "Hai anak manusia, makanlah gulungan kitab yang Kuberikan ini kepadamu dan isilah perutmu dengan itu." Lalu aku memakannya dan rasanya manis seperti madu dalam mulutku.” (Yeh 3:3).
Memakan Yesus berarti menyatukan diri dengan Yesus. Dia hidup dalam kita dan kita dalam Dia. “Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku.” (Yoh 6:57). Hidup dalam Yesus membuat kita menjadi kuat. Tidak lagi membutuhkan mekanisme pembelaan atau pertahanan diri. Atau mengejar kehebatan untuk membuktikan diri. Seperti kata Rasul Paulus. “Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus,” (Flp 3:8) Menyatu dengan Kristus membuat kita berusaha sedekat mungkin dengan apa yang dilakukan oleh Kristus. Dia datang untuk sesama terlebih yang miskin dan menderita. Maka kita pun didorong ke arah yang sama. Kita menjadi roti hidup. Roti yang memberi kehidupan bukan sebagai roti bagi orang yang hidup yang dimakan lalu dibuang ke jamban, tapi roti yang dapat membangkitkan semangat orang yang putus asa dan mati jiwanya. Kita menawarkan pada semua orang bukan “pangan wong urip” melainkan “panganan sing nggawe urip” (makanan yang membuat hidup) sampai cak Miskun memukul gong di setiap jalanan kampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar